hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Memperkuat Fundamental Ekonomi, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional

Upaya pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi menjadi dukungan dari sisi kebijakan moneter untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Pada ujungnya, langkah ini menjadi salah satu faktor penting yang dapat mendorong penguatan dunia usaha di Tanah Air dalam menghadapi persaingan global.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada Agustus tahun ini, bulan di mana Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, pemerintah menyampaikan RAPBN tahun 2026.

Pemerintah, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI terkait Pengambilan Keputusan atas Asumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN 2026, menyepakati asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS.

Angka ini jauh lebih tinggi dibanding periode 2020–2024, menandai bergesernya ekspektasi ke arah yang lebih realistis terhadap tekanan global dan kondisi eksternal. Kurs Rp16.500–16.900/USD menurut pengamat ekonomi menjadi cermin realisme baru Pemerintahan Prabowo Subianto.

Namun di balik angka itu, tersimpan pertanyaan besar: apakah pelemahan rupiah akan menjadi bumerang, atau justru membuka jalan untuk transformasi struktural?

Keputusan besar ini, diakui Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun tidak dibentuk panja khusus untuk membahas asumsi nilai tukar rupiah. Namun, lanjut dia, keputusan tersebut telah disepakati melalui rapat internal dan ditetapkan dalam rapat kerja pada 7 Juli 2025 bersama pemerintah yang diwakili, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

“Kami tidak membentuk panja untuk hal ini, namun di rapat internal kami menyetujui nilai tukar rupiah sesuai dengan angka yang tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF),” ungkap Misbakhun.

Daftar asumsi makro RAPBN 2026 yang telah disepakati DPR RI dan pemerintah adalah sebagai berikut:

———————————————————————————————-

Pertumbuhan ekonomi: 5,2–5,8 persen

Inflasi: 1,5–3,5 persen

Nilai tukar rupiah: Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS

Suku bunga SBN 10 tahun: 6,6–7,2 persen

Harga minyak mentah Indonesia (ICP): 60–80 dolar AS per barel

Lifting minyak mentah: 600–605 ribu barel per hari

Lifting gas bumi: 953–1.017 ribu barel setara minyak per hari

Tingkat pengangguran terbuka: 4,44–4,96 persen

Rasio gini: 0,377–0,380

Tingkat kemiskinan ekstrem: 0 persen

Tingkat kemiskinan: 6,5–7,5 persen

Indeks modal manusia: 0,57

———————————————————————————————-

“Asumsi-asumsi ini menjadi landasan penting dalam penyusunan kebijakan fiskal dan arah pembangunan ekonomi nasional pada 2026,” ucap Misbakhun. 

Bayang-bayang Risiko: Inflasi, Utang, dan Daya Beli

Kurs yang lebih lemah tak bisa dilepaskan dari risiko fundamental. Pertama, inflasi berpotensi naik, terutama pada sektor energi dan pangan yang sebagian besar masih bergantung pada impor. Harga BBM dan gas industri bisa terdorong naik, bahkan ketika harga minyak global relatif stabil.

Kedua, beban utang luar negeri—baik pemerintah maupun swasta—secara otomatis membengkak dalam denominasi rupiah. Dalam konteks rasio utang terhadap PDB, tekanan kurs ini mempersempit ruang fiskal untuk belanja strategis. Tak hanya itu, penguatan dolar juga berisiko memicu arus keluar modal (capital outflow), terutama jika investor melihat imbal hasil obligasi AS lebih menarik.

Kondisi ini bisa merembet ke sektor riil. Biaya bahan baku impor naik, margin industri manufaktur tertekan, dan dalam jangka menengah bisa menyebabkan penurunan tenaga kerja di sektor-sektor tertentu yang belum siap beradaptasi.

Peluang di Tengah Tekanan: Ekspor, Hilirisasi, dan PNBP

Di sisi lain, nilai tukar yang tinggi bisa menjadi berkah tersembunyi bagi sektor tertentu. Produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif, terutama komoditas perkebunan, perikanan, dan hasil industri tekstil serta garmen. Jika pemerintah mampu menjaga efisiensi logistik dan tata niaga, maka momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperluas pasar ekspor nontradisional.

Hilirisasi juga mendapatkan insentif alami. Ketika impor barang modal menjadi lebih mahal, industri nasional terdorong mengembangkan substitusi impor dan meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Inisiatif ini, jika didorong oleh kebijakan fiskal yang tepat, dapat memperkuat struktur industri nasional.

Lebih jauh, asumsi kurs yang lebih tinggi juga berdampak positif bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama dari sektor komoditas ekspor. Pajak ekspor dan royalti berbasis dolar akan menyumbang lebih besar dalam rupiah, menjadi bantalan penting di tengah pelebaran defisit anggaran.

 

Menjaga Rupiah, Mendorong Ekspor, dan Menguatkan Sektor Produktif

Ke depan, keberhasilan pemerintah dalam mengelola nilai tukar rupiah bukan semata soal menahan laju depresiasi, melainkan juga memastikan bahwa pelemahan rupiah tidak mengganggu stabilitas harga dan daya beli masyarakat. Justru, kondisi ini dapat dijadikan momentum untuk memperkuat sektor-sektor produktif dalam negeri.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Erwin Aksa, menegaskan bahwa pemerintah harus lebih serius dalam mengambil langkah konkret. Penguatan cadangan pangan nasional, peningkatan efisiensi belanja APBN, pemberian insentif bagi industri berorientasi ekspor, serta pendalaman pasar keuangan menjadi sangat krusial untuk menjaga stabilitas makroekonomi di tengah tekanan eksternal.

“Moneter dan fiskal perlu bergerak sinergis,” ujar Erwin. Menurutnya, Bank Indonesia harus tetap sigap menjaga ekspektasi nilai tukar dan inflasi, sementara pemerintah fokus pada transformasi struktural secara konsisten untuk menciptakan ekonomi yang lebih resilien.

Senada dengan itu, Anggota Komisi XI DPR RI lainnya, Eric Hermawan, memandang bahwa asumsi nilai tukar terhadap dolar AS pada kisaran Rp16.500 hingga Rp16.900 tetap memberikan harapan akan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2026. Asumsi ini telah dibahas bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas dalam rapat Komisi XI DPR.

Eric memaparkan, pelemahan nilai tukar rupiah memiliki dampak ganda. Pertama, impor akan berkurang karena bahan baku dari luar negeri menjadi lebih mahal. Hal ini membuka peluang bagi industri dalam negeri untuk melakukan substitusi impor. Kedua, ekspor justru berpotensi tumbuh karena produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif secara harga. Dari dua dampak tersebut, stabilitas nilai tukar dapat tercapai dalam jangka menengah.

Namun, Eric menekankan bahwa situasi ini menuntut langkah-langkah prioritas dari pemerintah. Di antaranya adalah pengelolaan APBN secara lebih hati-hati dan tepat sasaran, memastikan anggaran dialokasikan untuk kegiatan yang benar-benar berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selain itu, penerimaan negara perlu ditingkatkan melalui optimalisasi pajak, PNBP, dan kinerja BUMN.

Tak kalah penting, inflasi terhadap kebutuhan pokok masyarakat harus tetap dikendalikan agar daya beli tidak tergerus. Pemerintah juga perlu mendorong kebijakan insentif fiskal bagi industri strategis dan investor yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dengan sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, serta reformasi struktural yang konsisten, tantangan nilai tukar justru bisa menjadi peluang untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Antara Realitas dan Harapan

Nilai tukar Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS adalah sinyal jelas bahwa dunia telah berubah. Ketidakpastian geopolitik, fragmentasi ekonomi global, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia bukan lagi ancaman jangka pendek.

Namun dengan kebijakan yang terukur, asumsi kurs ini bisa menjadi pemicu reformasi dan pintu masuk menuju ketahanan ekonomi nasional yang lebih kokoh. Dalam ekonomi, yang paling penting bukan di mana kita berdiri hari ini—melainkan ke arah mana kita melangkah.

 

 

pasang iklan di sini