hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Membina Koperasi Seperti Filosofi Ki Hadjar Dewantoro   

 

Koperasi di Indonesia bukan “terpinggirkan”, namun secara harfiah berada di pinggiran. Masyarakat yang terpinggirkan membutuhkan koperasi agar bisa menolong dirinya sendiri secara bersama-sama, sehingga punya posisi tawar.

PANDANGAN tersebut dikemukakan oleh Ketua Umum Asosiasi Koperasi  Simpan Pinjam Indonesia (Askopindo), Sahala Panggabean, saat mengomentari perjalanan gerakan Koperasi Indonesia yang tahun ini memasuki usia 71. Menurut dia, koperasi seyogianya jadi prioritas bagi kebijakan Presiden RI dalam pembangunan perekonomian  yang sering kali digadang-gadang “harus dimulai dari pinggiran”

“Semestinya, penyaluran seluruh barang yang disubsidi pemerintah melalui lembaga koperasi sebagai lembaga usaha milik masyarakat itu sendiri, bukan melalui usaha swasta perorangan. Itulah yang dimaksud terpinggirkan,” kata Sahala kepada PELUANG.

Jika ada peluang usaha pengaturannya melalui lembaga pemerintah, maka seharusnya secara serentak kebijakannya kepada lembaga koperasi. Tetapi dalam praktiknya tidak demikian. Koperasi malah dibiarkan. “Kita tak bisa menyatakan salahnya di mana. Tapi jelas ada yang kurang harmonis antara kebijakan tertulis dan implementasinya,” cetus dia.

Hingga saat ini, fasilitas yang disediakan pemerintah untuk pengembangan koperasi masih sangat terbatas. Pemerintah memperlakukan koperasi ala kadar. Masih sama seperti koperasi berhadapan dengan lembaga fasilitas lainnya. Seharusnya, LPDB sebagai lembaga pendukung permodalan—karena memiliki karakter yang khas untuk koperasi—mudah dijangkau oleh koperasi seluruh Indonesia.

“Pemerintah diharapkan bersikap seperti filosofi Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya mbangun karso dan tut wuri hadayani. Filosofi ini seharusnya tidak hanya berlaku di dunia pendidikan. Alangkah baiknya jika juga diterapkan dalam membina dan mengembangkan perkoperasian. Khususnya mengingat tingkat kemampuan koperasi tidak merata, satu dengan yang lainnya berbeda-beda,” tutur Sahala.

Sejak berdirinya kongres pertama di Tasikmalaya, semangat menumbuhkembangkan koperasi oleh Pemerintah bervariasi, sesuai dengan perkembangan politik pemerintahannya. Sebagai pembina koperasi, pemerintah masih konsisten dengan adanya Kementerian Koperasi dan UKM di Tingkat Pusat dan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota.

“Hanya masih disayangkan, makin berkurangnya personel yang memahami perkoperasiaan secara mendasar yang berlaku secara internasional. Hal ini menghambat tumbuhnya kreativitas. Padahal, kreativitas dalam pelayanan sangat dibutuhkan agar anggota merasa kebutuhannya dipenuhi,” kata Sahala

Guna memajukan koperasi di Indonesia, Sahala menyarankan pentingnya fasilitas pendidikan yang berkelanjutan, keberpihakan yang nyata dalam bentuk fasilitas prasarana dan sarana usaha untuk koperasi. Tidak kalah pentingnya pejabat yang bertugas membangun koperasi mengaktualkan pengetahuannya.

Langkah ini bukan memanjakan koperasi, melainkan agar koperasi mampu bersaing. Selain itu, ketentuan pajak seharusnya dikembalikan, bahwa transaksi untuk anggota bukan merupakan objek pajak. Dia juga meminta UU Koperasi yang baru sesuai kebutuhan saat ini segera disahkan. Keberadaan Dewan Koperasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, belum dirasakan manfaatnya oleh gerakan koperasi.

“Kami mengusulkan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Koperasi dan UKM RI, mendukung program-program dari Askopindo yang merupakan wadah yang diperlukan koperasi simpan pinjam (KSP) dan KSPPS,” tuturnya.  (Irvan-red)

pasang iklan di sini
octa investama berjangka