Sebagaimana membaca koran, membaca buku pun kini bisa dilakukan di dalam bus yang berdesakan. Popularitas aplikasi Android menjadikan smartphone hampir seutuhnya berfungsi sebagai satu pintu keaksaraan (one stop literacy).
BUDAYA membaca buku kita menyedihkan dan tak kunjung membaik. Ini memang gejala lama, sedikitnya 3-4 dasawarsa terakhir. Unesco mencatat, minat baca Indonesia hanya 0,01 persen. Artinya, dari 10 ribu orang hanya satu yang memiliki minat baca. Dibanding Singapura, kita kalah jauh. Di sana, indeksnya sudah 0,45. Untuk DIY, menurut survai 2012, indeks bacanya 0,049. Ini tertinggi di Indonesia.
Diambil rata-rata nasional, hasil survei Unesco itu menyampaikan kabar miris bahwa “Ttak sampai satu judul (buku) per orang per tahun (yang dibaca),” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Permasyarakat Minat Baca (GPMB), Bambang Supriyo. Yang dimaksud di sini tentulah buku bebas/umum, di luar buku pelajaran.
Penyair Taufiq Ismail punya hasil penelitian (2003) dari sejumlah SMA di 13 negara mewajibkan bacaan bukunya. SMA Muangthai Selatan 5 judul, Malaysia dan 3 SMA Singapura (6), 4 SMA Brunei Darussalam (7), Rusia (12), Kanada (13), Canterbury/Inggris tenggara, Jepang dan Swiss (15), Jerman Barat (22), Prancis dan Belanda (30), Amerika Serikat (32); AMS Hindia Belanda (25), AMS Hindia Betarida (15), SMA Indonesia (0).
Setiap tahun Indonesia dengan penduduk hampir seperempat miliar hanya memproduksi 10 ribu judul buku. Setiap judul mencapai 3.000 eksemplar atau tiga juta eksemplar/tahun. Itu pun 55 persennya buku terjemahan. Bandingkan dengan Malaysia (26 juta jiwa), yang tiap tahun menghasilkan jumlah buku baru yang sama.
Meski begitu, upaya pencerdasan diri/kelompok bukannya nihil. Komunitas buku/membaca terdapat di hampir seluruh kota, bahkan di pelosok-pelosok. Pengembangan perpustakaan di daerah terpencil dilakukan melalui jalur resmi. Namun, inisiatif masyarakat yang sadar dan prihatin lebih menonjol. Beberapa nama yang layak disebut adalah Rumah Baca, Komunitas Relawan dan Pengelola Taman Bacaan, Komunitas Baca Buku, Gemar Membaca, Klub Buku Indonesia, Bantu Baca/program pembentukan taman baca di 7 pelosok desa Banten.
Di tahun 1980-an, majalah “Optimis” diterbitkan Leppenas (Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional) untuk komunitas Himapbu (Himpunan Masyarakat Pecinta Buku). Bulanan gratis 60-an halaman ini merupakan media informasi bagi anggota Himapbu mengenai perbukuan, dalam rangka mengembangkan minat baca masyarakat. Lalu, “Optimis” memuat pula karangan-karangan ilmiah populer, gagasan-gagasan atau kritik segar untuk perbaikan kehidupan bangsa.