Di puncak Bukit Keling di Dusun Nilo, Desa Wuli Wutik, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, berdiri dengan anggun Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi 19 meter atau total 28 meter dari permukaan tanah.
SETELAH dilanda tsunami dahsyat 31 tahun silam, Maumere bangkit. Berbenah dan melangkah. Kota di Indonesia bagian timur ini punya potensi memadai untuk berkembang jadi kota otonom. Pada tahun 1992, Maumere porak-poranda akibat dilanda bencana tsunami dahsyat. Kini, wajah kota itu sudah berubah. Tampak cukup rapi untuk kota dengan populasi 86.000 jiwa (2017). Di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, NTT, beberapa hal unik bisa dijumpai.
Bagi siapa pun yang pertama kali datang ke kota ini, sebaiknya bersiap-siap untuk menemui beberapa ‘kejutan’. Mulai di malam hari saat menyaksikan rumah-rumah yang memiliki makam di bagian samping atau di halaman rumah-rumah penduduk. Apa sebab? Mengapa tak di pemakaman umum? Ya begitulah cara masyarakat Maumere menghormati anggota keluarga mereka yang telah meninggal.
Begitu naik kendaraan umum, musik yang diputar dengan volume tinggi sudah menunggu. Di setiap sisi badan mobil, terpasang stiker besar dengan tulisan berbeda-beda. Misalnya, “Alejandro”, “Vernando, dan “Valentino”. Jika angkutan umum tidak heboh, penumpang justru enggan naik. Secara kultural, penduduk Maumere memang akrab dengan musik dan tarian. Hampir di setiap acara besar, pasti ada musik. Di situ ada kesempatan para tamu diajak menari.
Seorang rekan wartawan dari Jawa pernah bersafari beberapa hari di sana. Ia mencatat di Kota Maumere hanya ada dua SPBU. Bensin eceran harganya Rp13.000/liter, di pelosok. Herannya, di salah satu dari dua SPBU terdekat di tengah kota, ada penjual bensin eceran dengan harga Rp17.000/liter.
Di masa lalu, konon, gading merupakan mahar yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria. Bila tidak menyanggupinya, maka pernikahan tidak dapat terlaksana. Kini, mahar gading digantikan dengan hewan ternak, seperti kuda dan sapi. Gading justru dijual dalam bentuk perhiasan. Harganya lebih mahal dari emas. Perhiasan gading juga bernilai untuk diborgkan di pegadaian. Banyak masyarakat Maumere menyimpan gading sebagai bentuk investasi, karena harganya yang relatif stabil.
Bicara pesona alam, kebudayaan, dan nuansa religinya, Maumere kental dengan suguhan eksotis yang mengesankan. Bila ingin mengunjungi Maumere, datanglah di bulan Januari sampai dengan April, karena hamparan perbukitan di Maumere pasti berwarna kehijauan. Jangan bingung soal tempat menginap. Di sini sudah banyak sekali pilihan hotel dengan kisaran harga yang relatif murah.
***
TEMPAT terpenting saat anda berkesempatan mengunjungi Maumere adalah Bukit Keling. Sangat penting menjejakkan kaki di Bukit Keling di Dusun Nilo, Desa Wuli Wutik, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Di puncak bukit itu berdiri dengan anggun Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi 19 meter atau total 28 meter dari permukaan tanah,
Patung perunggu yang didirikan tahun 2004 ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peziarah, baik dalam maupun luar negeri. Tempat ziarah Maria Bunda Segala Bangsa ini merupakan salah satu yang patut dikunjungi. Bukit Nilo hanya berjarak 16 kilometer dari Kota Maumere. Wisatawan bisa mengendarai mobil ataupun sepeda motor.
Patung Maria Bunda Segala Bangsa dibangun oleh Kongregasi Pasionis (CP) bekerja sama dengan umat Katholik di sana. CP didirikan di Italia oleh St. Paulus dari Salib tahun 1720. Kongregasi ini berpusat di Roma dan telah menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Inilah sekaligus bangunan tertinggi di Kabupaten Sikka. Berdiri tegak di ketinggian 1.600 mdpl menghadap ke arah utara Kota Maumere. Berada di Puncak Keling Bukit Nilo, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita, Kota Maumere, Flores. Di lokasi Bukit Nilo, tak sedikit wisatawan yang juga melakukan kegiatan rohani. Keindahan kota pun bisa dilihat dari atas bukit ini. Bukan hanya hamparan Maumere, melainkan bening birunya laut dan pegunungan dari kejauhan pun tampak jelas.
Nilo dalam bahasa Sikka berarti terang. Kiranya tepat jika di dusun ini ditempatkan Patung Maria Bunda Segala Bangsa. Boleh jadi keberadaannya dimaksudkan sebagai untuk memberikan terang bagi umat Katholik yang datang untuk berdoa dan menerangi seluruh penduduk Sikka.
Tak cukup dengan sebuah patung ukuran super, kini tengah disiapkan ikon baru di Maumere, yakni Menara Lonceng di Gelora Samador da Cunha Maumere. Pembangunan ikon baru ini dikritisi. Setidaknya ada tiga hal penting yang disorot terkait megaproyek senilai Rp12 miliar itu. Yang utama, mestinya Panitia Pembangunan Menara Lonceng wajib memperoleh rekomendasi DPRD Sikka.
Ketua Panitia Pembangunan Adrianus Firminus Parera melaporkan sumber dana berasal dari Pemerintah Pusat, Pemprov NTT, Pemkab Sikka, program CSR, para donatur, dan masyarakat luas. Marianus Gaharpung, pemerhati, mempersoalkan salah satu sumber dana yakni yang berasal dari Pemkab Sikka.
“Apakah anggaran dari Pemkab Sikka sudah ada dalam APBD 2022? Apakah Ketua Panitia, Saudara Alvin Parera, sebagai pribadi atau sebagai Sekda Sikka?” tanya Marianus Gaharpung yang mengaku sangat berbahagia sekali jika menara lonceng pada akhirnya hadir dan menjadi tempat ziarah keimanan Katolik.
Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo bersama Uskup Maumere Mgr Edwaldus Martinus Sedu melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan menara lonceng, Rabu (2/2). Usai peletakkan batu pertama, hingga hari ini tidak ada aktivitas pekerjaan di lokasi pembangunan.
***
SEBUAH persoalan kecil yang tak bisa dianggap sepele menyangkut performance Kota Maumere adalah masalah sampah. Sudah lumayan lama penyakit ini belum serius teratasi. Di musim penghujan, Maumere pasti sumpek. Sampah-sampah meluap dari selokan. Masyarakat membiarkannya menumpuk sembarangan.
Pada musim kemarau, di sudut kota, kompleks pertokoaan, pasar, badan jalan, kali mati, bahkan di pelataran kantor berbagai jenis sampah berjubel. Keluhan terbesar masyarakat selain tebarannya adalah soal baunya. Sampah di sebelah timur Patung Kristus Raja menggunung. Bupati Sikka, Robi Idong, tampak geram menyaksikan pemandangan jorok seperti itu.
Masalahnya kesadaran masyarakat yang lemah, selain ketidakberesan pengaturan pengairan selokan dan drainase. Normalisasi drainase sejauh ini masih terabaikan. Selain itu, perlu penyadaran kepada masyarakat pertama-tama ditanamkan oleh pihak keluarga, kedua, oleh pemerintah, dan ketiga oleh sekolah. Tiga lembaga ini perlu bersinergi menyosialisasikan kegiatan sadar lingkungan.
Cara keras mungkin perlu diambil. Misalnya, denda bagi yang membuang sampah sembarangan. Atau diberi sanksi administratif. Pendidikan bisa dilakukan dengan membangun kerja sama antara dinas lingkungan hidup, lembaga bank sampah Maumere, dan pegiat-pegiat lingkungan hidup. “Kita tidak ingin menyebut Kota Maumere sebagai kota sampah,” ujar seorang warga yang peduli.●(Zian)