JAKARTA-—Kerak telor adalah kuliner dari tanah Betawi yang semakin langka. Tidka ada catatan tertulis asal usul makanan yang terbuat dari bahan beras ketan putih telur ayam atau telur bebek, ebim (udang kecil) dan sejumlah bumbu seperti bawang merah goreng, cabai merah, kencur, jahe, garam, gula pasir, merica butiran, dan suiran kelapa yang sudah di sangrai.
Menurut Mat Sani, 45 tahun makanan kerak telor ini berasal dari selatan tepatnya Pasarminggu dan kawasan Buncit. Dia tidak tahu persis kapan munculnya, tetapi sudah ada sejak masa penjajahan Belanda.
Pria asli Betawi ini mulai berjualan kerak telor pada 2009 dengan modal awal Rp3 juta dengan misi agar kuliner khas Jakarta ini tidak punah. Apalagi dia tahu bahwa orang daerah pun juga berjualan kerak telor, namun rasanya tidak seenak kalau dibuat orang Betawi.
Mat Sani berdagang dari pasar malam ke pasar malam, mulai dari Tangerang, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, hingga Jakarta Timur. Warga Pulo Gadung ini juga memanfaatkan event seperti PRJ hingga pekan raya koperasi atau bazaar-bazaar.
“Kalau lagi bagus saya bisa menjual 70 hingga 100 loyang per hari. Kerak telor saya dibandroll antara Rp15 ribu untuk telur ayam dan Rp20 ribu untuk telur bebek. Tetapi kalau sewa tempatnya mahal bisa mencapai Rp20 hingga Rp25 ribu,” ungkap Mat Sani kepada Peluang, Kamis (26/9/19).
Kalau sedang beruntung Mat Sani meraup omzet sebesar Rp50 hingga Rp70 juta per buan. Tetapi kalau tidak beruntung Rp20-25 juta per bulan. Kalau tidak beruntung margin bersihnya hanya Rp5-6 juta per bulan, karena biaya produksinya mahal.
“Takaran bumbunya harus pas agar kerak telornya wangi dan enak. Pernah waktu dagang di Cipinang, seorang ibu menanyakan kok rasa kerak telor tidak enak? Ternyata ibu itu beli di pedagang kerak telor yang bukan asli Betawi. Akhirnya dia coba yang saya buat, dia ketagihan dan dia pesan dua bungkus lagi,” kenang Mat Sani (Irvan Sjafari).