Jakarta (Peluang) : Masyarakat pedesaan tertarik pinjol ilegal karena proses pencairan lebih cepat dan tidak ribet.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat mayoritas korban pinjaman online (pinjol) ilegal berada di wilayah pedesaan. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat pedesaan didominasi menengah ke bawah.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi mengatakan, banyak masyarakat pedesaan yang menjadi korban pinjol ilegal dikarenakan masih adanya gap antara tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat.
Berdasarkan survei OJK pada 2019, tingkat inklusi keuangan sebesar 76,19 persen, namun literasi keuangan hanya sekitar 38,03 persen.
“Untuk korban pinjol ilegal ini memang lebih banyak masyarakat di pedesaan daripada perkotaan,” kata Frederica dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (7/10/2022).
Adapun menurutnya, alasan masyarakat pedesaan rentan menjadi korban pinjol ilegal karena proses pencairan pinjaman lebih cepat dan tidak ribet dibandingkan lembaga keuangan legal.
Hal ini membuat masyarakat tertarik untuk mengakses layanan pinjol ilegal meski dengan bunga tinggi. “Kalau bank atau lembaga resmi, itu kan perlu adanya agunan dan lainnya,” katanya.
Maka itu, OJK berupaya memperluas cakupan program kredit dan pembiayaan melawan rentenir atau KPMR (Kualitas Penerapan Manajemen Risiko).
Adapun program kredit murah ini menurutnya, bertujuan untuk memerangi praktik rentenir hingga pinjaman online ilegal yang kerap mencekik masyarakat dengan bunga tinggi.
Friderica mencatat, realisasi penyaluran program kredit melawan rentenir sebesar Rp4,4 triliun pada kuartal II-2022. Angka ini menjangkau 337,9 debitur.
OJK berharap, melalui pemberian program kredit lawan rentenir bisa membantu masyarakat maupun pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) terhindar dari jerat rentenir maupun pinjol ilegal.
“Kita harapkan dengan peran aktif pemda dan kantor perwakilan cabang OJK di 34 provinsi dapat menarik jumlah UMKM untuk mengakses kredit ini, bunga lebih murah dan aman,” ungkap Frederica.
Selain itu, OJK juga menyelenggarakan Bulan Inklusi Keuangan (BIK) pada Oktober tahun 2022 ini.
Program ini bertujuan untuk memperluas akses keuangan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendorong pembangunan nasional.
Menurutnya, perluasan akses keuangan masyarakat akan membantu memperkuat perekonomian nasional.
Ia mengatakan, kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap produk atau layanan jasa keuangan. “Serta mengkampanyekan budaya menabung berbagai sektor industri jasa keuangan,” ujar Frederica.
Selain itu, juga mendorong pembukaan rekening dan penggunaan produk/ layanan jasa keuangan, serta mempublikasikan program literasi dan inklusi keuangan, dan perlindungan konsumen.
Lebih lanjut dijelaskan, setiap Oktober sejak 2016, OJK telah menyelenggarakan BIK secara terintegrasi, masif, dan berkelanjutan. Upaya ini dilakukan untuk mendorong pencapaian target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024, sekaligus mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
“Dari program yang ditetapkan Pak Jokowi, 2024 kita inklusi 90 persen, insyaallah kita akan bisa capai,” kata Frederica.
Adapun tingkat inklusi keuangan 2022 sebesar 80 persen. Namun, kata dia, rincian tingkat inklusi keuangan 2022 akan disampaikan pada BIK tanggal 29 Oktober mendatang.
“Kita berharap dalam dua tahun ke depan Indonesia bisa mengejar sampai dengan lebih dari angka 90 persen,” ujarnya.
Berdasarkan survei nasional OJK yang dilakukan per tiga tahun, tingkat inklusi dan literasi keuangan meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, inklusi keuangan sebesar 76,19 persen dan literasi sebesar 38,03 persen. Kemudian inklusi keuangan sebesar 67,8 persen dan literasi keuangan sebesar 29,7 persen pada 2016.
Sedangkan pada 2013, inklusi keuangan sebesar 59,74 dan literasi keuangan sebesar 21,84 persen.
Melalui akses keuangan, menurutnya, masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkan produk dan layanan keuangan secara lebih optimal. Seperti menabung, mendukung kegiatan usaha, berinvestasi dan melakukan proteksi aset atau jiwanya.
Adapun sektor keuangan yang inklusif akan memiliki deposan ritel yang lebih beragam dan stabil. Sehingga dapat meningkatkan stabilitas sistem keuangan dan mengurangi risiko sistemik.
“Stabilitas sistem keuangan yang terjaga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan produk keuangan,” pungkasnya.