octa vaganza

Masih Perlukah OJK?

JAKARTA—-Pengamat koperasi dan staf pengajar Bina Nusantara Jakarta Agung Sudjatmoko mengkritisi pengumuman yang dikeluarkan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa koperasi yang melakukan kebijakan pinjaman secara daring adalah hal yang ilegal.                 

Menurut Agung tudingan itu menyesatkan dan OJK tidak punya wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap koperasi. Tentu saja tuduhan diklarifikasi oleh koperasi yang mengadu ke Kemenkop UKM karena merugikan citra koperasi.

Seperti yang diberitakan berbagai media massa, beberapa lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satgas Waspada Investasi menyatakan 50 aplikasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang melakukan penawaran pinjaman daring ilegal.

Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing, kegiatan koperasi tersebut tidak sesuai dengan prinsip perkoperasian. Penggunaan aplikasi koperasi ilegal itu bertujuan untuk mengelabui masyarakat seakan-akan penawaran pinjaman online itu memiliki legalitas dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Namun belakangan sebanyak 35 koperasi dikeluarkan dari daftar itu.  Mereka pun dinyatakan tidak melakukan praktik pinjaman dari di luar anggota dan memiliki legalitas badan hukum dan izin usaha simpan pinjam sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Bahkan Tongam meminta maaf atas kepada 35 koperasi yang sudah terlanjur dimasukan daftar.

Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi juga membenarkan ada ketidakhati-hatian dan ketidakcermatan dari Satgas Waspada Investasi OJK dalam menetapkan 50 aplikasi koperasi ini sebagai penawar pinjaman online ilegal. Harusnya pihak OJK melakukan klarifikasi dulu.

Menganggapi hal itu Agung menyampaikan akibat tindakan OJK, itu pihak koperasi yang sudah terlanjur dimasukan dalam daftar bukan  saja menderita kerugian imateriil tapi juga materil.

“Anggota yang menjadi tidak percaya kepada koperasinya sehingga menarik simpanan dan dipastikan dapat menagganggu operasi koperasi,” kata Agung.

Agung mengingatkan OJK justru menunjukan kelegahan mengawasi lembaga yang justru menjadi wewenangnya.  Kasus Asuransi Jiwasraya menunjukkan kelengahan otoritas atas sistem pengelolaan asuransi plat merah. Bahkan mungkin masih banyak kasus lain baik bank maupun non bank yang terjadi.

“Rapot merah ini harus menjadi bahan evaluasi kita atas kinerja otorita masih perlu atau tidak? Sejak awal lahirnya otorita sudah memicu perdebatan karena ini harusnya bagian dari tugas dan fungsi BI,” terang Agung.

Seharusnya urusan kebijakan moneter dan lembaga keuangan termasuk pengawasan dan perijinan ataupun kebijakan lainya berada dalam satu badan yang namanya BI.

Lahirnya OJK memang dengan UU tapi kepentingan atas itu terjadi sehingga sekarang urusan pengawasan, pembinaan dan pengembangan lembaga keuangan menjadi terpisah.

Pada beberapa kasus ini menjadi tidak efisien, muncul birokrasi baru, serta disharmonisasi kebijakan yang sering terjadi antara BI dan OJK.

Kaji kritis ini muncul sebab adanya dampak atas tidak dijalankanya tugas pokok OJK dan hasil kerja tugas sampingan yang menimbulkan blunder seperti kasus pengumuman otorita atas adanya koperasi yang menberikan online landing yang keliru saat ini.

“Kini muncul analisis sementara saya untuk bubarkan OJK dan kembalikan tugas tersebut di tangan BI,” kata Agung menegaskan

Dia melihat  birokrasi di OJK tidak memahami tentang konsep koperasi dan sistem daring koperasi yang disusun dan dibuat hanya untuk anggota, bukan untuk masyarakat umum.

Ini kesalahan fatal yang dilakukan oleh OJK jika mengukur baju koperasi dengan ukuran yang lain seperti fintech landing atau lainya.

Koperasi mempunyai fatsun taat pada prinsip dan nilai koperasi, dimana anggota menjadi subjek sekaligus objek atas kebijakan dan pengembangan koperasinya.

Pada kasus inilah OJK tidak belajar baik masalah koperasi. Dan yang sangat ceroboh OJK mengawasi rumah tangga orang lain yang bukan kewenangan dan tugasnya.

“Pengumuman OJK jelas merugikan kepentingan koperasi, karena telah menambah beban berat citra koperasi di masyarakat,” pungkas dia.

Hal senada juga dinyatakan anggota Komisi VI DPR RO Evita Nursanty. Dia meminta OJK tidak mudah memberikan label ilegal kepada koperasi simpan pinjam (KSP) yang melayani anggotanya dengan sistem digital.

“OJK harus memahami KSP dan Unit Simpan Pinjam di Koperasi seperti diatur dalam UU No25/1992 tentang Perkoperasian, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, bukan membuat definisi sendiri,” ujar Evita.

Legislator asal Jawa Tengah ini menyayangkan, saat semua koperasi dan UKM didorong melakukan modernisasi dengan memanfaatkan teknologi digital, OJK malah menuduh mereka ilegal.

“OJK membuat definisinya sendiri. Jadi ayo kita awasi penyimpangan, tapi jangan matikan koperasi yang menjadi gerakan ekonomi rakyat,” kata Evita.

Exit mobile version