Sebagai penghasil nikel dan sawit terbesar dunia, serta pemilik tambang emas raksasa, Indonesia seharusnya makmur. Namun realitasnya, hanya 17,1% dari APBN 2025 bersumber dari kekayaan alam. Sisanya, 82,9%, ditopang pajak rakyat. Struktur ekonomi timpang ini menunjukkan paradoks negeri kaya yang hidup dari pungutan, bukan dari potensi besar di perut buminya. Masa iya terus begini?
Sebagai penghasil nikel nomor satu di dunia, penghasil timah nomor satu, penghasil tembaga nomor dua, pemilik tambang emas terbesar nomor dua, dan penghasil batu bara nomor tiga, Indonesia semestinya makmur. Belum lagi sebagai produsen CPO (kelapa sawit) terbesar di dunia, karet nomor dua, udang nomor dua, dan kayu nomor lima.
Namun ironisnya, negeri Zamrud Khatulistiwa ini hanya mampu menghimpun 17,1 persen atau Rp513,6 triliun dari total APBN 2025 yang mencapai Rp3.005,1 triliun. Artinya, sebanyak 82,9 persen (Rp2.490,9 triliun) denyut nadi ekonomi Indonesia masih bergantung pada pajak. Masa iya, negeri sekaya ini hidup dari pungutan rakyat?
Padahal, dari tambang emas saja, selain Freeport yang masyhur, Indonesia memiliki lima proyek tambang emas raksasa: Gosowong di Halmahera, Pani di Gorontalo, Toka Tindung di Minahasa Utara, Martabe di Tapanuli Selatan, dan Tujuh Bukit di Banyuwangi. Naasnya, pembodohan publik terus digelontorkan secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM) sejak 2022 — kala seorang pejabat publik, si pembohong, mengklaim 70 persen hasil Freeport masuk ke APBN. Klaim itu pun dikoreksi oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa: nyatanya hanya 0,03 persen, sesuai kontrak.
Struktur dominasi pajak ini konsisten terlihat dari tahun ke tahun. Hingga April 2025, realisasi pendapatan negara masih menunjukkan pola serupa: sekitar 68,7 persen dari pajak, 12,4 persen dari kepabeanan dan cukai, serta 18,9 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Data Kementerian Keuangan mencatat, industri pengolahan dan sektor perdagangan menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak, diikuti jasa keuangan dan asuransi.
Ketergantungan berlebih pada pajak membawa sederet konsekuensi: meningkatnya ketimpangan ekonomi, menyusutnya populasi kelas menengah, dorongan penghindaran pajak, serta perlambatan pertumbuhan usaha yang menekan stabilitas fiskal. Era ini telah berlangsung selama 14 tahun di bawah kepemimpinan Menkeu Sri Mulyani, hingga akhirnya tongkat estafet diserahkan kepada Purbaya Yudhi Sadewa pada 8 September 2025.
Sistem perpajakan yang timpang hanya menguntungkan konglomerat dan korporasi besar yang punya akses terhadap skema tax planning dan celah hukum (tax avoidance). Sementara itu, pajak konsumsi seperti PPN justru menekan masyarakat berpenghasilan rendah. Ketidakpercayaan publik terhadap keadilan sistem ini bahkan mendorong maraknya praktik penggelapan pajak (tax evasion).
Membangun sistem perpajakan yang ideal jelas bukan perkara mudah. Pemerintah dihadapkan pada dilema abadi antara efisiensi ekonomi, keadilan sosial (vertikal maupun horizontal), dan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, kebijakan yang dirancang untuk menyejahterakan masyarakat — seperti insentif pajak — kadang justru melanggar prinsip keadilan itu sendiri.
Lalu pertanyaan paling mendasar: seberapa cepat kita bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (income middle trap)?
Netizen sering berujar: Belanda tidak punya gunung, Swiss tidak punya pantai, Jepang miskin sumber daya alam, Singapura tak punya sawah, dan Arab Saudi tak punya hutan. Tapi mereka makmur.
Kita punya segalanya — lalu kenapa mereka yang sejahtera, bukan kita?