
Oleh: Ahmad Subagyo*)
Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, sebuah acara penting berlangsung pada tanggal 30 Januari 2025. BRI Microfinance Outlook 2025 menghadirkan tiga tokoh terkemuka dalam dunia ekonomi dan keuangan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Chief Economist Asian Development Bank Albert Francis Park, dan Head of Regional Client Services Women’s World Banking Harsha Rodrigues berkumpul untuk membahas masa depan keuangan mikro di Indonesia.
Bayangkan sebuah ruangan konferensi yang dipenuhi oleh para pemimpin industri, pengambil kebijakan, dan pelaku UMKM yang antusias. Mereka semua hadir untuk mendengarkan visi dan strategi yang akan membentuk lanskap keuangan mikro Indonesia di tahun-tahun mendatang. Udara dipenuhi dengan rasa optimisme yang bercampur dengan kesadaran akan tantangan yang harus dihadapi.
Sri Mulyani, dengan kewibawaannya yang khas, membuka diskusi dengan menekankan peran vital UMKM dalam perekonomian Indonesia. “Bayangkan sebuah mesin raksasa yang menggerakkan ekonomi kita,” ujarnya. “UMKM adalah roda gigi utama dalam mesin tersebut.” Dia kemudian memaparkan fakta yang mengejutkan banyak hadirin: UMKM menyerap sekitar 97% dari total tenaga kerja nasional dan berkontribusi 61% terhadap PDB pada tahun 2023.
Namun, di balik angka-angka mengesankan tersebut, tersembunyi sebuah ironi. Sri Mulyani melanjutkan, “Bayangkan sebuah pohon besar dengan akar yang kuat namun kekurangan air. Itulah kondisi UMKM kita saat ini.” Dia menjelaskan bahwa meskipun UMKM memiliki peran yang sangat penting, mereka masih menghadapi kendala besar dalam akses pembiayaan. Kesenjangan pembiayaan UMKM diperkirakan mencapai $234 miliar, dan hanya sekitar 20% UMKM yang memiliki akses ke pembiayaan formal perbankan.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menyoroti sebuah fenomena menarik yang sering luput dari perhatian publik. “Tahukah Anda bahwa di balik setiap toko kelontong, warung makan, atau bisnis online kecil, ada seorang perempuan tangguh yang menjalankannya?” Dia mengungkapkan bahwa sekitar 64,5% atau 41 juta UMKM di Indonesia dikelola oleh perempuan, dengan kontribusi diperkirakan mencapai $88 miliar terhadap PDB 2023.
Namun, seperti halnya Putri Cinderella yang harus berjuang melawan keterbatasan sebelum mencapai kesuksesan, UMKM yang dikelola perempuan juga menghadapi hambatan tambahan. Sri Mulyani menjelaskan, “Mereka seperti pelari maraton yang harus menempuh jarak lebih jauh dengan beban lebih berat.” Hambatan tersebut meliputi kurangnya dokumentasi bisnis, jaminan, dan persepsi risiko yang lebih tinggi dari lembaga keuangan.
Menyadari tantangan-tantangan ini, pemerintah tidak tinggal diam. Sri Mulyani kemudian memaparkan serangkaian kebijakan yang dirancang untuk mendukung UMKM, khususnya dalam hal akses pembiayaan. “Kami ingin menciptakan ekosistem di mana setiap UMKM, tidak peduli seberapa kecil atau di mana lokasinya, memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang,” tegasnya.
Salah satu program unggulan yang dipaparkan adalah penguatan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan target penyaluran KUR 2025 sebesar Rp 500 triliun, penurunan suku bunga KUR menjadi 3% per tahun, dan perluasan sektor yang dapat dibiayai, pemerintah berharap dapat menjangkau lebih banyak UMKM yang membutuhkan dukungan finansial.
Namun, Sri Mulyani menyadari bahwa di era digital ini, akses pembiayaan saja tidak cukup. “Kita harus memastikan bahwa UMKM kita tidak hanya mendapatkan modal, tetapi juga memiliki ‘jalan tol digital’ untuk mengaksesnya,” ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah juga fokus pada pengembangan infrastruktur digital, termasuk percepatan implementasi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 dan pengembangan platform P2P lending khusus UMKM.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif fiskal untuk meringankan beban UMKM. Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dan pembebasan PPN untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun. “Ini seperti memberikan ‘vitamin fiskal’ agar UMKM kita bisa tumbuh lebih kuat,” analoginya.
Terakhir, Sri Mulyani menekankan pentingnya penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dengan penyederhanaan regulasi pendirian dan operasional LKM serta peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan sertifikasi, pemerintah berharap dapat memperkuat ‘jaring pengaman keuangan’ bagi UMKM di seluruh pelosok negeri.
Setelah pemaparan komprehensif dari Sri Mulyani, giliran Albert Francis Park, Chief Economist Asian Development Bank, untuk memberikan perspektif globalnya. Park memulai dengan sebuah pernyataan yang membuat hadirin terdiam sejenak. “Keuangan mikro bukan lagi tentang memberikan pinjaman kecil kepada orang miskin. Ini adalah tentang menciptakan revolusi keuangan yang inklusif di era digital.”
Park kemudian memaparkan beberapa tren global yang akan mempengaruhi perkembangan keuangan mikro di Indonesia. Pertama, digitalisasi dan fintech. “Bayangkan sebuah dunia di mana setiap orang memiliki bank di genggaman tangannya,” ujar Park. Dia menjelaskan bahwa adopsi teknologi digital dalam layanan keuangan mikro meningkat pesat, dengan fintech berpotensi menjangkau 1,7 miliar orang yang belum memiliki akses layanan keuangan formal.
Tren kedua yang disoroti Park adalah fokus pada keberlanjutan. “Keuangan mikro bukan hanya tentang profit, tetapi juga tentang planet,” tegasnya. Park menjelaskan bahwa semakin banyak lembaga keuangan mikro yang mengintegrasikan aspek lingkungan dan sosial dalam penilaian kredit mereka. Bahkan, ada peningkatan produk keuangan mikro yang secara khusus mendukung adaptasi perubahan iklim.
Tren ketiga adalah kolaborasi multipihak. “Tidak ada satu pihak yang bisa menyelesaikan puzzle keuangan mikro sendirian,” ujar Park. Dia menjelaskan bahwa kemitraan antara lembaga keuangan mikro, fintech, dan institusi keuangan tradisional semakin meningkat. Sementara itu, peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator menjadi semakin krusial.
Beralih ke konteks Indonesia, Park melihat peluang besar yang dimiliki negara ini. “Indonesia seperti sebuah raksasa yang baru bangun dari tidur panjangnya,” analoginya. Dia menjelaskan bahwa dengan populasi besar dan penetrasi smartphone yang tinggi (lebih dari 70%), Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk revolusi keuangan digital.
Lebih lanjut, Park menyoroti pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat, diproyeksikan mencapai $146 miliar pada 2025. “Ini bukan hanya angka,” tegasnya. “Ini adalah potensi untuk menciptakan lapangan kerja baru, memberdayakan UMKM, dan mendorong inovasi di sektor keuangan mikro.”
Namun, di balik peluang besar tersebut, Park juga mengingatkan tentang tantangan yang harus diatasi. “Kita seperti membangun jembatan di atas jurang yang dalam,” analoginya. Dia menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar, masih ada kesenjangan infrastruktur digital antar wilayah yang signifikan.
Tantangan lain yang disoroti Park adalah literasi keuangan yang masih rendah. “Memberikan akses tanpa edukasi seperti memberikan mobil kepada seseorang yang belum belajar mengemudi,” ujarnya. Park mengutip data OJK yang menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38% pada tahun 2022.
Terakhir, Park memperingatkan tentang risiko over-indebtedness akibat kemudahan akses kredit digital. “Kita harus memastikan bahwa revolusi keuangan digital tidak menciptakan gelembung utang baru,” tegasnya.
Berdasarkan analisisnya, Park memberikan beberapa rekomendasi kebijakan. Pertama, investasi infrastruktur digital yang merata. “Kita harus memastikan bahwa ‘jalan tol digital’ menjangkau seluruh pelosok negeri, bukan hanya kota-kota besar,” ujarnya. Kedua, penguatan regulasi dan pengawasan untuk memitigasi risiko. Ketiga, peningkatan program literasi keuangan digital. Keempat, insentif untuk inovasi produk keuangan mikro yang berkelanjutan. Dan terakhir, fasilitasi kemitraan antara lembaga keuangan mikro tradisional dan fintech.
Setelah pemaparan Park yang membuka wawasan tentang tren global dan peluang Indonesia, giliran Harsha Rodrigues dari Women’s World Banking untuk memberikan perspektif yang lebih spesifik tentang inklusi keuangan perempuan.
Rodrigues memulai presentasinya dengan sebuah pertanyaan yang menggugah: “Apa yang terjadi jika kita memberdayakan setengah dari populasi dunia secara finansial?” Dia kemudian memaparkan fakta yang mengejutkan banyak hadirin: 753 juta perempuan di negara berkembang tidak memiliki akses ke rekening bank atau dompet digital.
“Ini bukan hanya tentang angka,” tegas Rodrigues. “Ini adalah tentang potensi yang belum tergali, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud.” Dia menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri, kesenjangan gender dalam kepemilikan rekening mencapai 11% menurut data OJK tahun 2022.
Namun, di balik tantangan tersebut, Rodrigues melihat peluang besar. “Perempuan bukan hanya pengguna layanan keuangan, mereka adalah agen perubahan ekonomi,” ujarnya. Dia kemudian memaparkan fakta yang membuat banyak hadirin terkesima: 90% pendapatan perempuan diinvestasikan kembali ke keluarga, dibandingkan hanya 40% untuk pria.
“Bayangkan efek riak yang bisa kita ciptakan jika kita memberdayakan lebih banyak perempuan secara finansial,” Rodrigues melanjutkan. Dia kemudian fokus pada UMKM yang dikelola perempuan, yang menurutnya memiliki potensi besar namun juga menghadapi tantangan spesifik.
Rodrigues menjelaskan bahwa hanya 15% UMKM perempuan yang memiliki akses ke kredit formal. “Ini seperti meminta seseorang untuk membangun rumah dengan satu tangan terikat di belakang punggung,” analoginya. Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa rata-rata pinjaman yang diterima UMKM perempuan 31% lebih kecil dibanding UMKM pria.
Namun, tantangan yang dihadapi UMKM perempuan tidak hanya terbatas pada akses pembiayaan. Rodrigues menjelaskan bahwa ada kendala sosial-budaya yang sering kali luput dari perhatian. “Ada norma gender yang membatasi mobilitas dan pengambilan keputusan keuangan perempuan,” ujarnya. “Ini seperti rantai tak terlihat yang menghambat potensi mereka.”
Selain itu, Rodrigues juga menyoroti kesenjangan digital yang dihadapi perempuan. “Di era di mana smartphone bisa menjadi ‘kantor bank portabel’, banyak perempuan masih tertinggal,” jelasnya. Dia memaparkan bahwa perempuan, terutama di daerah pedesaan, sering kali memiliki akses dan literasi digital yang lebih rendah dibanding pria. Namun, Rodrigues tidak berhenti pada identifikasi masalah. Dia kemudian memaparkan beberapa strategi kunci untuk memberdayakan UMKM perempuan melalui keuangan mikro. “Kita perlu pendekatan yang holistik,” tegasnya. “Bukan hanya memberikan pancing, tapi juga mengajarkan cara memancing dan memastikan ada ikan di kolam.”
Strategi pertama yang diusulkan Rodrigues adalah desain produk yang responsif gender. “Kita perlu produk keuangan yang ‘berbicara bahasa perempuan’,” ujarnya. Ini termasuk pinjaman tanpa agunan atau dengan agunan alternatif, serta skema pembayaran yang fleksibel sesuai arus kas bisnis.
Kedua, pemanfaatan teknologi digital. “Teknologi bisa menjadi equalizer yang ampuh,” Rodrigues menjelaskan. Dia mengusulkan pengembangan aplikasi mobile yang user-friendly dan integrasi layanan non-finansial seperti pelatihan bisnis online.
Strategi ketiga adalah pendampingan dan peningkatan kapasitas. “Kita perlu menciptakan ekosistem yang mendukung,” ujar Rodrigues. Ini termasuk program mentoring bisnis khusus perempuan dan pelatihan literasi keuangan dan digital yang kontekstual.
Terakhir, Rodrigues menekankan pentingnya kemitraan strategis. “Tidak ada satu pihak yang bisa menyelesaikan puzzle ini sendirian,” tegasnya. Dia mengusulkan kolaborasi dengan organisasi perempuan lokal dan kerjasama dengan platform e-commerce untuk percepatan pertumbuhan.
Dalam menghadapi tantangan dan peluang di masa depan, pengembangan UMKM dan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung pertumbuhan UMKM, mulai dari insentif fiskal, pembiayaan ultra mikro, hingga perlindungan sosial yang terintegrasi. Namun, keberhasilan upaya ini tidak hanya bergantung pada intervensi pemerintah semata, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga keuangan seperti Bank BRI, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Keuangan lainnya.
Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui penguatan UMKM merupakan tanggung jawab bersama. Diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menghadapi tantangan seperti digitalisasi, peningkatan produktivitas, dan perluasan akses pasar. Dengan kolaborasi yang erat dan implementasi strategi yang tepat, diharapkan UMKM Indonesia dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang tangguh, berdaya saing global, dan mampu menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Langkah-langkah konkret seperti penyelarasan kebijakan, integrasi data, dan formalisasi usaha akan menjadi kunci dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maju dengan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (#)
*)Ketua Umum IMFEA (Indonesia Microfinance Expert Association), ADEKMI (Asosiasi Dosen Ekonomi Koperasi dan Keuangan Mikro Indonesia), Wakil Rektor III IKOPIN University