octa vaganza

Marjin Bunga Bank Makin Tipis

Perbankan berlomba menggenjot pendapatan non bunga untuk menggenjot laba. Selain itu, efisiensi mungkin saja dilakukan melalui PHK massal seperti yang sudah terjadi di tingkat global.

Digitalisasi telah mengubah wajah perbankan. Dahulu, sumber utama pendapatan bank adalah dari marjin pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM). Namun kini tampaknya NIM tidak lagi menjadi andalan untuk menggemukkan pundi-pundi bank. Setidaknya hal itu terlihat dari laporan keuangan terkini per kuartal III 2019.

Bank-bank papan atas cenderung menunjukkan penurunan NIM. Sampai Q3 2019, NIM BRI sebesar 6,81%, turun dibanding periode sama 2018 yang mencapai 7,41%. Begitu pula yang dialami Mandiri dan BNI. Hanya bank BCA yang menunjukkan peningkatan NIM.

Sekadar informasi, NIM menggambarkan selisih atau spread antara suku bunga simpanan dengan suku bunga pinjaman (kredit). Bank akan membukukan NIM yang lebih besar jika, suku bunga kreditnya jauh lebih besar dibandingkan dengan suku bunga pinjaman, dan sebaliknya.

Bank Indonesia selaku regulator perbankan berusaha menurunkan suku bunga kredit maupun suku bunga deposito bank. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 23-24 Oktober 2019 diputuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,75%.

Dengan penurunan suku bunga acuan tersebut, artinya telah turun sebesar 100 bps sejak awal tahun. Tercatat, BI 7-Day RR bertahan di level 6% dalam jangka waktu mulai 17 Januari sampai 20 Juni 2019. Kemudian perlahan turun ke level 5,75% pada 18 Juli 2019, dan turun lagi menjadi 5,50%. Selanjutnya turun menjadi 5,25% pada 19 September 2019.

Untuk menyiasati penurunan NIM, perbankan berlomba-lomba menggenjot pendapatan non bunga (fee based income/FBI). BRI misalnya, hingga akhir September 2019, FBI nya mampu tumbuh double digit sebesar 12,03% atau sebesar Rp9,74 triliun. Bank BCA juga sama, dimana FBI nya sebesar Rp15 triliun atau naik dibanding periode sama tahun sebelumnya Rp12,58 triliun.

Kondisi serupa terjadi di Bank BNI dimana FBI nya melonjak 13% dari Rp7,20 triliun di September 2018 menjadi Rp8,13 triliun di September 2019. Sementara Bank Mandiri mencatatkan kenaikan FBI dari Rp18,84 triliun menjadi Rp19,64 triliun.

Di tengah penurunan NIM, perbankan perlu mewaspadai tren perbankan global. Sebab, hasil survei lembaga konsultan McKinsey & Co. menyatakan bahwa separuh dari bank-bank dunia sudah berada di posisi yang lemah. Mayoritas bank secara global, tidak layak secara ekonomi karena tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/ROI) tidak sejalan dengan biaya yang dikeluarkan.

Di tengah kondisi permintaan yang melemah, mau tidak mau ke depan mungkin akan terjadi PHK massal di perbankan. Ini sudah terjadi di tataran global. PHK dilakukan sebagai langkah efisiensi sekaligus menjadi profitabilitas perusahaan.

Exit mobile version