
Peluangnew, Jakarta – Ekonom senior Mari Elka Pangestu mengungkapkan dua penyebab utama energi baru terbarukan (EBT) tak bisa berkembang dengan pesat. Tiga persoalan itu dinilai cukup membuat keadaan menjadi dilematis dan menyulitkan pengambil kebijakan mengambil keputusan.
“Ini memang sebenarnya menjadi pembicaraan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia kenapa EBT itu tampaknya sulit untuk berkembang,” ujar Mari dalam peluncuran buku putih dari LPEM untuk Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029, Jumat (27/10/2023).
Dari sisi domestik, alasan pertama pengembangan EBT berjalan lambat ialah karena adanya monopoli dari PLN. Perusahaan satu-satunya yang mengelola dan mendistribusikan listrik itu menyebutkan ada kelebihan pasokan hingga 2029.
Hal tersebut menurut Mari, menjadi salah satu sebab EBT sulit berkembang. Pasalnya, pasokan berlebih itu mau tak mau harus diserap terlebih dahulu. Dengan asumsi itu, maka EBT baru bisa dikembangkan mulai 2029.
Di lain sisi, persiapan untuk menerapkan EBT dengan baik belum diterjemahkan ke dalam regulasi baku. Hingga saat ini aturan mengenai EBT masih gamang dan urung rampung dibahas oleh parlemen dan pemerintah.
“Padahal itu perlu dari sekarang, tapi belum ada tanda kuat untuk rencana EBT karena yang di parlemen belum selesai. Dan banyak masalah di dalam sana. Basic problem itu adalah harga, selama harga batu bara dan BBM masih lebih murah karena disubsidi, tidak ada insentif untuk EBT masuk,” kata Mari.
Hambatan kedua ialah Indonesia begitu banyak memiliki sumber EBT yang sebetulnya dapat dimanfaatkan. Tenaga matahari, angin, gas, hingga panas bumi. Namun pemanfaatannya tampak belum optimal dan efektif.
Bisa jadi, kata Mari, itu karena ada intervensi dari luar yang menyebut bahwa tenaga gas dan panas bumi masih berkaitan dengan energi fosil. Itu mestinya dapat dibantah melalui pembuktian bahwa keduanya merupakan energi bersih yang dapat digunakan dalam fase transisi energi.
Tak hanya itu, optimalisasi sumber EBT juga terhambat lantaran pemanfaatan energi matahari dan angin membutuhkan lahan yang cukup luas. Ini menurut Mari membutuhkan keinginan dan kebijakan politik yang kuat agar bisa direalisasikan.
“Kalau tidak demikian, kita tidka bisa keluar dari coal dan tidak bisa menjadi kekuatan kita. Ini polemik yang berkembang,” tuturnya.
“Nanti kalau sudah ada EBT pun perlu untuk mengubah grid, intermittent flow of energy, grid itu harus diubah, siapa yang harus berinvestasi di sana dan ini harus dijawab. Jadi memang ada kompleksitas yang besar,” pungkas dia. (Aji)