hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Manisnya Rente Impor Gula, Pahitnya di Petani

Faisal Basri-Foto: Irvan Sjafari.

JAKARTA—-Ekonom dari Institute for Development of Ecomonics  and Finance (INDEF) Faisal Basri menyebutkan, Indonesia saat ini menjadi pengimpor gula terbesar di dunia. Padahal pada masa penjajahan Hindia Belanda  Indonesia menjadi pengekspor gula nomor satu didunia.

“Kini Indonesia berada di atas  Amerika serikat  dan China. Padahal sebelumnya kita  di bawah merekasebagai pengimpor gula,” tutur Faisal dalam konferensi pers INDEF bertajuk Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta, Senin  (14/1/2019).

Data Biro Pusat Statisik menunjukkan  pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton atau senilai USD 1,66 miliar. Angka ini meningkat dibanding Januari-November 2017 sebesar 4,48 juta ton.Sedangkan data Departemen Pertanian AS (USDA) dalam Statista menggambarkan impor gula Indonesia terbesar di dunia, mencapai 4,45 juta metrik ton pada 2017-2018.

“Impor 4,6 juta ton (2018) kebutuhan hanya 3 juta ton, selebihnya? Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar, padahal sebelumnya pemerintah mengatakan, gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan, sekarang pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga,” tutur staf pengajar Fakultas Ekonomi UI ini.

Dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, Pemerintah membedakan antara Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri dan Gula Kristal Putih (GKP) untuk dikonsumsi masyarakat. Sedianya  impor gula hanya untuk pemenuhan GKR, namun dalam perkembangannya GKR juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga gula konsumen.

Sehubungan  dengan hal ini nenurut   Faisal lagi impor gula ini seharusnya bisa dihentikan dengan peningkatan produksi gula rafinasi di dalam negeri.  Sayangnya pemerintah seperti sengaja menghambat peningkatan produksi gula di dalam negeri.

Pemerintah member izin  pendirian pabrik gula di daerah yang tidak  mungkin ada tanaman tebu, seperti Cilegon, Banten dan  Deli Serdang  dan Makassar.

“Inilah kacaunya pemerintah, jadi sepenuhnya bisa dikatakan gula rafinasi ini stempel untuk berburu rente, menikmati selisih yang sangat besar antara gula Indonesia dan gula dunia,” tutur Faisal, seraya menyebutkan setelah  dihitung harga produksi harga gula di dunia adalah Rp7.352 per kilogram dan  Harga Eceran Tertinggi di Indonesia Rp12.500.

Kebijakan pemerintah ini selain berakibat merugikan petani karena pedagang tidak mau membeli gula dari petani, sebab stok gula menjadi berlebih. Yang mendapatkan pahitnya  adalah petan.

“Pemerintah dalam hal ini jangan  percaya dengan perusahaan yang  diikutsertakan dalam kebijakan gula, terutama dalam soal ketersediaan gula. Stok di pedagang sedikit tetapi  stok di pabrik besar,” kata dia.

Lanjut Faisal lagi, harusnya yang dilakukan oleh pemangku kebijakan ialah melakukan restrukrisasi pabrik gula, karena pabrik gula di Indonesia sudah  berumur puluhan tahun bahkan ada  yang lebih dari seratus tahun.

Selain itu  perlu integrasi  antara pabrik gula dengan lahan tebu.  Perusahaan yang diberikan lisensi untuk mengimpor mendirikan pabrik gula, tetapi tidak ada lahan tebu sekitarnya.

“Kita harus  perangi pemburu rente menikmati tanpa berkeringat, free rider, penunggang percuma, itu yang harus kita perangi,” pungkasnya (Irvan Sjafari).

 

pasang iklan di sini