octa vaganza

Maknyuss

KALI ini bukan hoax ala beras plastik. Penggerebekan Satgas Stabilitas Pangan di gudang PT Indo Beras Unggul/IBU—produsen beras Maknyuss dan Ayam Jago—di Bekasi, tergolong fatal. Fatal karena yang jadi bintang berita dua petinggi: Kapolri dan Menteri Pertanian. Fatal karena tuduhan mereka dibangun dengan argumen centang perenang. “Tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun politis,” kata Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin.

Ombudsman menilai, Tim Satgas Pangan melakukan pelanggaran. Rilis polisi segera disanggah Mensos, Khofifah Indar Parawansa. Juga Kepala Bulog, Djarot Kusumayakti. Belakangan polisi bikin ‘klarifikasi’, bukannya minta maaf, malah maju dengan tudingan Dirut PT IBU, Trisnawan Widodo, melakukan pencucian uang. Dia pun langsung dijadikan tersangka, dan ditahan.

Beres? Tampaknya baru memasuki babak pertengahan. Sengkarut perberasan Maknyuss tak simpel. Ada lima pengertian yang harus diluruskan, kata Muhammad Said Didu. Yakni subsidi (subsidi input dan subsidi output), beras premium, beras oplosan, kerugian negara, dan peran Bulog. Khusus tentang PT IBU yang beli gabah Rp4.900/kg jauh di atas harga beli pemerintah (Rp3.700/kg)? “Bisnis mereka merupakan inovasi tata niaga pertanian yang brilian. Tata niaga pertanian sering jadi salah satu titik paling lemah dalam pembangunan pertanian,” tutur ekonom Dradjad Wibowo.

Posisi beras sebagai pangan pokok amatlah vital bagi 261,1 juta penduduk. Meski di Nusantara tersedia alternatif seperti ubi jalar; nasek empog di Madura; bubur jewawut, yang dikonsumsi masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi dikenal; papeda di Maluku dan Papua; sangeun (rasi) di Kampung Cirendeu, Cimahi; gembili di daratan Papua.

Konsumsi beras yang 139,5 kg/tahun/orang memang agak tinggi. Tapi itu tak melegitimasi anjuran: “mbok yo kurang-kurangi makan nasi, to”. Di sejumlah pasar, kenaikan harga beras mencapai 30 persen betul-betul memukul kantong rakyat miskin. Beras kualitas menengah dari Rp9000/kg jadi Rp12.000; kualitas premium naik dari Rp11.000 jadi Rp15.000.

Sejarah mencatat, hampir semua negara menempatkan ketersediaan pangan sebagai kebijakan strategis. Jika rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional akan semakin besar. Logis jika PM India  Jawaharlal Nehru (1947-1964) menyebut, ”Segala sesuatu dapat menunggu, tapi tidak untuk pertanian. Dalam kalimat Henry Kissinger, Menlu AS (1973-1976), “Jika kebutuhan pangan terpenuhi, urusan yang lain akan lebih mudah diselesaikan”.

Politik beras mensyaratkan terkondisinya kepastian produksi memenuhi kebutuhan nasional; kepastian kesejahteraan produsen beras, yakni kaum tani; dan kepastian harga beras terjangkau oleh seluruh rakyat. Itu sebabnya ketika Ibrahim Hasan, Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Bulog 1993-95 coba-coba tawarkan alternatif (impor) tentang kebijakan perberasan Soeharto, jabatannya sebagai Kabulog pun dicopot. Sekali-kalinya M Soeharto melakukan ‘reshuffle’ sepanjang 32 tahun memerintah.●

Salam,

Irsyad Muchtar

Exit mobile version