Posisinya geografisnya yang strategis menjadikan Makassar sebagai persinggahan internasional, bahkan semenjak abad XV. Kini, Kota Anging Mamiri tengah dibenahi menjadi sebuah kota metropolitan masa depan.
SEDIKITNYA dua hal yang spontan muncul ketika terdengar sebutan Makasar, yakni Coto (soto) dan pantai Losari. Itu benar. Kuliner yang namanya Coto Makassar, yang bisa dijumpai di kedai-kedai di berbagai kota di Tanah Air, lazimnya terhidang bersama sebuah golok. Tapi kuliner Makassar tak cuma itu. Sebab, anda masih harus menyebut beberapa menu: Roti Maros, Jalangkote, Bassang, Kue Tori, Palubutung, Pisang Ijo, Sop Saudara dan Sop Konro.
Nama Makassar berasal dari satu kata dalam bahasa Makassar “Mangkasarak“, artinya: yang menampakkan diri atau yang bersifat terbuka. Beragam suku bangsa yang menetap di dalamnya, suku Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa. Dengan wilayah seluas 175,77 km² dan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa, kota ini menempati urutan kelima kota terbesar di Indonesia; setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Orang-orang Makassar (khususnya Bugis) sangat dikenal luas sebagai pelaut andal yang dihormati di dunia karena kehebatannya. Para pengarung samudera asal Makassar itu dijuluki “Celebes de Makassares” alias orang-orang “Makassar yang ulung dan masyhur”. Jejak kemasyhuran para pelaut Makassar/Bugis ini dapat ditemukan pada hukum laut internasional, yang mengadopsi Hukum Amanagappa berisi 21 pasal dimana beberapa bagiannya sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan dalam pelayaran.
Letak Makassar amat strategis, baik di jalur pelayaran nasional maupun internasional dari/ke kawasan Asia Pasifik dan Eropa. Karenanya, posisi Kota Makassar sedemikian ideal dan rasional untuk mendukung terwujudnya gagasan Indonesia Poros Maritim Dunia. Berada di tengah-tengah Indonesia menjadikan kota ini seperti gerbang penanda keseimbangan kiri dan kanan di poros terbawah. Kota ini by nature jadi penghubung antara wilayah barat dan timur Nusantara.
Makassar adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama di Indonesia, bersama Jakarta, Medan, dan Surabaya. Makassar juga kota pelabuhan dan perdagangan di pesisir selatan Pulau Sulawesi. Makassar pun masuk dalam jaringan perdagangan sutera yang menghubungkan perniagaan Asia dengan Eropa.
Dalam sejarah maritim, Makassar adalah titik temu antara jalur niaga di belahan timur (Maluku, Papua) dan barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan dan Eropa), di samping antara jalur niaga di belahan utara (Filipina, Jepang dan Cina), serta selatan (Nusa Tenggara dan Australia).
Itu pula sebabnya kota ini jadi seksi dan membetot minat untuk berbagai kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition), baik nasional maupun antarbangsa. Sebagai tujuan MICE nasional, Makassar juga memiliki Pusat Konvensi Makassar, Celebes Convention Center (CCC), dengan fasilitas memadai dengan ketersediaan 15.000 kamar dan sarana konvensi internasional.
“Beroperasi sejak tahun 2007, CCC menempati gedung besar dengan ruangan yang luas. Itu menjadikannya tempat tepat untuk menghelat pameran, resepsi pernikahan, rapat, dan acara lainnya yang berskala besar, baik nasional maupun internasional. CCC seluas 5.400 m² itu menawarkan wilayah multifungsi, fleksibel dan mampu menjadi tuan rumah berbagai jenis kegiatan. CCC memiliki ruang eksibisi seluas 3.600 m² di samping ruangan yang dapat menampung 10 ribu hingga 15 ribu orang. Dalam kondisi standing party, CCC dapat menampung 200-300 stand pameran.
Selain ruang pameran, disediakan pula ruang kantor pelayanan terpadu untuk konsultasi dan advokasi pembiayaan UMKM. “CCC menempati lahan seluas 1,5 hektare terdiri dari 3 bangunan utama. Gedungnya menyediakan ruang pameran yang dapat menampung hingga 10 ribu orang, pusat konvensi dengan daya tampung hingga 5.000 orang, dan ballroom dengan kapasitas 4.000 orang. Gedung ini, hebatnya, milik Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Provinsi Sulawesi Selatan. Dibangun atas kerja sama Kemenkop dan UMKM Republik Indonesia serta Pemprov Sulsel. Bangunannya dilengkapi infrastruktur modern yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan ICE di bawah satu atap.
Lokasinya juga cukup strategis yaitu di kawasan Pantai Losari yang merupakan sentra hiburan dan bisnis warga Kota Makassar. CCC juga berada di kawasan Tanjung Bunga yang menghubungkannya dengan Trans Studio Makassar.
CCC berada di tengah Kota Makassar sehingga mudah untuk menemukan berbagai akomodasi untuk mendukung kunjungan MICE anda. Berdasarkan data PHRI Makassar, saat ini terdapat 503 hotel berbagai peringkat, dari kelas Melati hingga bintang lima. Beberapa di antaranya Royal Regency Hotel, Quality Hotel Makassar, dan Kenari Tower Hotel. Selain itu, sekitar kawasan ini juga dihiasi keindahan pantai dan budayanya, termasuk benteng-benteng peninggalan kolonial.
KOTA dan bandar Makassar bercikal bakal dari sebuah hunian di muara Sungai Tallo. Ditandai dengan sebuah pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada pengujung abad XV. Benteng didirikan Benteng Rotterdam pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI. Aktivitas sektor perdagangan lokal, regional dan internasional meningkat dengan pesat. Begitu pula dengan sektor politik dan sektor pembangunan fisik. Masa itulah menjadi puncak kejayaan Kerajaan Gowa, sekaligus awal keruntuhannya pasca-ditandatanganinya Perjanjian Bungaya.
Hanya dalam tempo seabad, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (kota terbesar ke-20 dunia). Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam di Belanda, yang termasuk kota kosmopolitan dan multikultural, baru mencapai sekitar 60.000 orang. Perkembangan bandar Makassar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu.
Sampai pada pertengahan abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara, di samping mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku.
Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau, yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-14, I-Mangngarangi Daeng Manrabia, dengan gelar Sultan Alauddin (memerintah 1593-1639), dan Raja Tallo, Mangkubumi I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka.
Pada hari Jum’at, 9 November 1607, dilangsungkan shalat Jum’at pertama di Masjid Tallo. Secara resmi dinyatakan bahwa penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk agama Islam. Pada waktu bersamaan pula, digelar shalat Jum’at di Masjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Jadi Kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi Kota Makassar diperingati setiap tanggal 1 April.
Nama Ujung Pandang sebenarnya sudah dikenal pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-X, Tunipalangga yang pada tahun 1545 mendirikan Benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng Kerajaan Gowa yang sudah ada sebelumnya—antara lain Barombong, Somba Opu, Panakukang dan benteng-benteng kecil lainnya.
Kota Makassar berubah nama menjadi Ujung Pandang pada 31 Agustus 1971. Alasan formalnya, mengakomodir julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman. Sejak awal, perubahan nama ini diprotes berbagai elemen masyarakat. Bahkan sempat muncul Petisi Makassar oleh Prof Dr Andi Zainal Abidin Farid SH, Prof Dr Mattulada dan Drs HD Mangemba. Namanya dikembalikan menjadi Makassar pada 13 Oktober 1999. Luas wilayahnya bertambah sekitar 4 mil ke arah laut, sehingga total mencapai 27.577 ha.
Kota Makassar yang populasinya dewasa ini mencapai 1,7 juta jiwa dengan luas wilayah 199,26 km² menduduki posisi ke-5 dari 10 kota metropolitan di Indonesia. Sebagaimana lazimnya ‘beban’ kodrati sebuah kota metropolitan, Makassar tak luput dari masalah klasik. Mulai dari gelandangan dan pengemis, pengangguran, kriminalitas, sampah, peningkatan pelayanan publik, hingga kemacetan.
Pihak Pemda Makassar tengah merancang angkutan massal, yakni monorel, untuk mengatasi kemacetan. Belum rampung, memang. Monorel tersebut diproyeksikan akan melingkupi Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Maros. Selain angkutan massa monorel, angkutan massal berupa kereta api masih dalam proses pengerjaan. Seperti Sembilan kota besar lainnya di Tanah Air, Bappenas memang mendorong Makassar menjadi kota metropolitan. Kesepuluh kota yang dimaksud adalah Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Palembang, Batam, Pekanbaru, Malang, dan Mangkasarak.●(dd)