Site icon Peluang News

Maju Mundur UU Koperasi

Oleh: Dr Dewi Tenty Septi Artiany

 

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Koperasi Nomor 17 Tahun 2012, perkoperasian Indonesia dipaksa kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, Undang-Undang yang mengatur tentang Perkoperasian itu sudah berusia 33 tahun, sementara situasi dan kondisi dunia usaha termasuk koperasi sudah banyak mengalami perubahan. Maka, untuk menyelaraskan bisnis perkoperasian yang belakangan sudah bermain di ranah digital, revisi UU Perkoperasian sudah menjadi keniscayaan yang tidak boleh ditunda berlama-lama.

Sebenarnya sudah ada harapan yang terang benderang di ujung kepemimpinan Teten Masduki sebagai Menteri Koperasi dan UKM. Waktu itu semangat untuk segera melahirkan UU Koperasi yang baru sangat bergelora. Bahkan hampir setiap pekan Teten Masduki dan pejabat Kemenkop lainnya bikin statement di media massa dengan janji manis bahwa UU Koperasi tinggal ketuk palu dan bakal selesai sebelum akhir Kabinet Indonesia Maju jilid II berakhir.

Nyatanya hingga kabinet berganti, harapan yang dinanti (seperti tulisan bung Imam Faturrohmin di Majalah Peluang edisi Juli yang lalu) bagai menunggu Godot. Menunggu sesuatu yang tidak pasti datangnya.

Kita memang sangat sadar bahwa UU No 25 Tahun 1992 kurang mengadaptasi perkembangan perkoperasian, khususnya dalam kaitan pemberantasan jaringan kegiatan yang berkedok koperasi seperti fintech, bank gelap (rentenir) berkedok koperasi yang keberadaannya semakin menjerat masyarakat lapisan bawah yang masih berharap bahwa koperasi menjadi suatu solusi bagi kemelut keuangan yang di hadapinya.

Selain itu, secara politis kehadiran UU Koperasi yang baru ini juga untuk mengangkat gengsi perkoperasian kita di tingkat internasional; bahwa secara legal koperasi Indonesia dapat bersaing di tingkat pasar global. Karena itu di forum DPR RI saya pernah usulkan agar revisi RUU Koperasi dapat dilakukan dengan berpedoman pada blue print yang jelas. Ketiadaan blue print yang jelas menyebabkan goal dan targetnya juga tidak jelas sehingga penyusunan UU selalu dibatalkan.

Ada ambiguitas pada kebijakan pemerintah, di awal sudah tampak keberpihakan terhadap koperasi dengan memisahkan Kementerian Koperasi dari UMKM dengan  harapan lebih fokus terhadap perkembangan perkoperasian, ditambah dengan gebrakan 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP) yang tentunya sejalan dengan langkah pemisahan kementerian tersebut.

Akan tetapi dua gebrakan tersebut harusnya dibarengi dengan alas hukum perkoperasian dengan segeranya diundangkan RUU Perkoperasian, karena alangkah berbahayanya apabila gerakan dan gebrakan ini tidak dibarengi dengan pengamanan melalui kepastian hukum; melalui UU negara hadir memberikan perlindungan terhadap rakyatnya yang dieksploitasi oleh Para Rentenir berbaju Koperasi.

Di awal pemerintah mengagendakan bahwa RUU ini akan segera disahkan pada Maret 2025. Kita berpikiran positif sajalah bahwa pemerintah sedang sibuk berat dengan pembentukkan 80.000 KMP dan berharap usai peresmiannya pada 21 Juli yang lalu, perhatian pemerintah sudah kembali ke penyelesaian RUU Koperasi. Namun hingga Agustus ini  tidak ada tanda tanda pengesahan itu akan dilakukan. Seharusnya paling tidak pada bulan juli disaat dicanangkan 80.000 KMP juga menjadi momentum disahkannya RUU Perkoperasian, untuk memberikan “lapangan bermain” (playing field) yang setara bagi koperasi, sehingga dapat bersaing dengan pelaku usaha lain.

Dalam hal ini ketiadaan pengesahan RUU Perkoperasian bukan memberikan lapangan bermain yang adil tapi menjadikan arena tinju bagi koperasi untuk saling berkompetisi tanpa ada perlindungan dan kepastian hukum dari UU Perkoperasian yang baru.

 

 

Penulis adalah doktor ilmu hukum Universitas Pajajaran, pengamat perkoperasian dan berprofesi sebagai notaris di Jakarta.

 

Exit mobile version