SEORANG mahasiswa tewas diberondong peluru tentara. Arief Rahman Hakim nama mahasiswa itu gugur sebagai martir, namun tak sia-sia karena sebuah rezim berhasil ditumbangkan. Peristiwa di tahun 1966 itu menjadi simbol perlawanan mahasiswa dalam menasbihkan diri sebagai agen perubahan sosial.
Apatah arti kematian itu jika dalam setiap pergerakan mahasiswa selalu ada perlawanan tidak seimbang antara batu dan peluru? Pertanyaan ini menjadi kebimbangan yang menyeruak di bait-bait puisi Taufiq Ismail saat mengantar jenazah Arif Rahman Hakim keperistirahatan terakhir. Sebuah jaket berlumur darah, tersurat keraguan yang hanya menabrak kokohnya tembok kekuasaan.
… Akan mundurkah kita sekarang seraya mengucapkan’ selamat tinggal perjuangan’ berikrar setia kepada tirani dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?…
Setelah lima dasa warsa berlalu, gerakan mahasiswa masih seperti sediakala, parlemen jalanan dengan simbol moral yang tetap sama. Masih mengusung poster dan spanduk di depan gedung parlemen, menggugat para legislator bobrok makelar jual beli pasal undang-undang. Ironisnya, di antara legislator bobrok itu juga para mantan mahasiswa yang di zamannya mengklaim diri sebagai penjaga moral bangsa.
Dalam konteks teori siklus Ibnu Khaldun kita diingatkan agar tidak kecewa dengan pergeseran prilaku tersebut. Khaldun menyebut selalu ada siklus abadi antara tuntutan kaum Badawah, penggugat kemapanan dan kaum Hadarah sebagai kelas penguasa yang sering ngotot untuk mengamankan kursi kekuasaannya. Penguasa Hadarah pada awalnya juga berangkat dari komunitas Badawah.
Mengacu pada tesis Julien Benda, Hadarah adalah metamorfosis Badawah yang melonggarkan ikatan kelompok (ashabiyah) karena mendewakan kekuasaan. Di sisi lain, secara diametral, Badawah menjadi representasi kaum cendekiawan yang secara sadar mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sosial politik di sekitarnya.
La Trahison des clercs, khotbah klasik Julien Benda, lahir ketika ia melihat begitu banyak kaum intelektual di Perancis berkolaborasi dengan Nazi seraya bersikap anti terhadap hati nurani. Bagi Benda, mereka tak ubahnya kalangan penghianat yang mengelabui masyarakat awam lantaran hanya mengejar materi dan keuntungan pribadi, menjadi hamba dari penguasa serakah. Kendati begitu, benda juga tidak menolak realita, bahwa cendekiawan tidak melulu adalah resi atau begawan yang hanya berumah di awan. Sejatinya pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran itu sendiri.
Tetapi, mungkinkah kita bisa mengubah kebohongan itu jika kaum cendekiawan telah berganti kostum, menjadi tuan dari kekuasaan itu sendiri. Menyerbu kursi-kursi parlemen, bahkan menjadi aktor drama parlemen yang memukau di depan layar media massa publik. Sementara di balik itu, mereka mematok ladang-ladang ekonomi yang menjadi hak rakyat kecil. Memang tidak ada yang salah dengan pengembangan peran kecendekiaan itu, hanya yang patut disayangkan adalah ketika fungsi kritisi itu menjadi semakin tumpul.
Kita menjadi enggan membuka mulut, karena seperti kata Erich Fromm, di tengah kita ada hantu-hantu. Bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu-hantu baru, yaitu masyarakat yang bergerak menjadi mesin-mesin tanpa roh. Masyarakat yang hanya bergerak karena dipaksa untuk meningkatkan produksi dan konsumsi materialisme.
Di dalam kegalauan seperti itu, kita teringat Pramoedya Ananta Toer tentang sejarah dunia sebagai panggung sejarah orang muda. Apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa. (Irsyad Muchtar)