Machiavellian

Ia memang tokoh absurd. Ajarannya sulit dicerna oleh mereka yang mendewakan moralitas. Tetapi pikiran Niccolo Machiavelli, sang guru tiran itu, banyak merasuki jiwa kaum politisi. Petuahnya yang terkenal adalah, politik tak berkorelasi dengan moralitas dan kebajikan. Bahkan menurut negarawan Itali di abad XVI itu, agar kekuasaan tetap bertahan, penguasa harus sering melanggar hukum. Sebab keputusan politik tidak boleh ditentukan berdasarkan pandangan agama dan moralitas.

Untuk kepentingan negara dan pemerintahan semua tindakan dihalalkan. Dan politik adalah seni untuk mengelola berbagai kemungkinan. Petuah amoral yang dibukukan pada lima abad lalu itu hingga kini tak usang. Pikiran-pikiran Machiavelli dalam bukunya Il Principe yang ditulis pada 1513 menjadi kiat sukses politisi untuk menguasai kursi parlemen. Seperti pohon rambat, machiavellian menjalar ke berbagai ruang bernuansa abu-abu.

Menjelang perebutan kursi parlemen di awal 2024 lalu, wajah machiavellian yang tiba-tiba lembut muncul di banyak tempat, menempel di pinggiran jalan dengan poster besar menyeruak hingga ke kampung-kampung kumuh. Poster-poster dengan wajah para kontestan politik yang didesain ramah, murah senyum dan agamis menawarkan perubahan untuk kehidupan yang lebih sejahtera. Menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis, sementara rakyat manggut-manggut kagum lantaran tidak tahu bahwa ketersediaan sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, air dan keamanan adalah taken for granted, tugas konstitusi negara.

Dan seperti biasanya, rakyat selalu tidak punya pilihan. Kekuasaan menyodorkan pada mereka aneka ragam wajah yang harus dipilih untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.  Tetapi bagi rakyat awam agaknya bukan masalah apakah pemilu yang konon menghabiskan dana Rp70 triliun akan mencetak machiavellian baru atau melahirkan kaum moralis setingkat Gandhi, Mohammad Hatta atau Martin Luther King Jr.

Pengalaman pemilu masa lalu terlalu sering membenturkan rakyat pada realitas bahwa penguasa baru yang banyak mengobral janji pada gilirannya juga tak mampu melakukan perubahan yang mereka janjikan.

Maka bagi rakyat yang sudah terlanjur apatis, pemilu sama sekali tak dipahami sebagai ajang untuk menguji platform politik ataupun evaluasi kinerja kekuasaan lima tahun berjalan. Rakyat hanya tahu bahwa hak politiknya sekadar mencoblos, hampir banyak partai politik alpa memberikan pendidikan politik bermartabat bagi rakyat; mengenalkan sosok politisi santun seperti Mohammad Natsir atau Agus Salim. Yang mereka tonton setiap kali justru para politisi yang lihai berdebat kusir di layar televisi dan licin berkelit dari kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi.

Maka, pemilu tak ubahnya seperti karnaval dan pesta jalanan yang pernuh warna warni, sumpah serapah dan janji, pembagian kaos oblong, uang saku Rp100 ribu, nasi bungkus dan hentakan musik dangdut.

Sebagai sebuah pesta demokrasi yang massif, pemilu berimplikasi pada denyut perekonomian. Roda bisnis berputar kencang, mulai dari mesin percetakan dan usaha konveksi yang sontak menyala 24 jam, hingga bisnis restoran, perhotelan dan telekomunikasi yang menuai panen. Perhelatan pemilu berimplikasi pada terciptanya kesempatan kerja bagi jutaan orang, tetapi juga berkontribusi pada penurunan laju investasi lantaran para pelaku bisnis lebih suka menunggu siapa yang bakal tampil ditampuk pemerintahan berikutnya. Setelah itu, politisi muka baru masuk parlemen, kegaduhan interupsi kembali berulang, politiik transaksional tak terhindarkan. Dan rakyat kembali pada pekerjaannya yang seperti sedia kala. Nil novi sub sole, tidak ada yang baru di bawah matahari.

Exit mobile version