SETIAP memasuki bulan Ramadhan di mana umat islam akan menjalani ibadah puasa, berita yang hampir selalu muncul memenuhi media massa adalah: “Harga-harga kebutuhan pokok melambung”. Menteri terkait melaporkan bahwa bahan pokok untuk menyambut bulan puasa mencukupi.
Hal itu membenarkan adanya kekhawatiran seolah-olah kebutuhan umat Islam selama bulan Ramadhan meningkat. Puncaknya mendekati Idul Fitri. Benarkan demikian adanya? Menurut logika, mestinya konsumsi pangan selama puasa menurun, karena umat islam hanya makan dan minum dari waktu berbuka hingga sahur. Kok bisa pengeluaran untuk makan minum selama Ramadhan meningkat?
Menurut saya, ini karena ulah para pedagang. Dengan logika terbalik, seolah-olah kebutuhan pokok ini meningkat, sehingga seolah-olah pula wajar jika harga-harga bahan pokok tersebut naik—sesuai hukum supply and demand.
Mari kita cermati. Menurut saya, ‘asumsi’ itu tidak betul. Jangankan meningkat, sama saja pun tidak jika dibandingkan hari-hari di luar Ramadhan. Artinya, kemungkinan besar kebutuhan itu justru turun. Gak logis kan orang mengonsumsi lebih banyak dalam jangka waktu yang kurang dari setengah hari?
Saya pikir, isyu naiknya kebutuhan bahan pokok (beras, gula, daging, cabai, bawang) itu sengaja ditiupkan oleh (sebagian) pedagang atau pengusaha. Itu akal-akalan mereka untuk meraup untung besar. Bahkan, bisa saja ini akal-akalan para pengimpor. Dan itu berarti menghancurkan kehidupan petani/peternak lokal.
Badrul Mustafa
Padang, Sumatera Barat