hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Liuk Biola Idris Sadri di Taman Suropati Menteng

Tiga belas tahun sudah usia Taman Suropati Chamber. Komunitas orkestra grass root dengan jadwal life mingguan itu memang tak tayang di gedung opera. Sesuai namanya, mereka bermusik di taman. Beberapa kali diundang tampil di kediaman Kedubes asing di Jakarta.

AHAD pagi. Sayup-sayup terdengar dari alunan musik gesek yang dimainkan sebuah kelompok orkestra. Irama lembut apik dan nada-nada merdu mengalun dari instrumen yang didomininasi alat musik gesek seperti biola, cello, dan alat musik tiup fluit. Di tengah teduhnya pepohonan munggur di teriknya siang hari, mereka khusuk bermusik persis orkestrasi di sebuah gedung opera.

Genre musik yang dilantunkan dalam orkestrasi umumnya karya-karya klasik ciptaan musisi dunia seperti Beethoven, Mozart ataupun JS Bach. Tapi di Komunitas Taman Suropati Chamber (TSC) justru melantunkan lagu-lagu daerah atau lagu-lagu nasional penggugah nasionalisme. Misalnya, Gundul Pacul dari Jawa Tengah, Bungong Jeumpa dari Aceh, Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka dan lagu-lagu sejenis.

Komunitas TSC yang kini beranggota 200-an tak hanya berasal dari kalangan the haves. “Saat ini, 25-35 persen anggota kami justru berasal dari anak-anak jalanan,” kata Agustinus Esti Sugeng Dwiharso alias Ages (50), dedengkot TSC. Ia menyebut banyak anak-anak berbakat yang tercecer di jalanan karena tidak punya biaya untuk belajar musik. Melalui Komunitas TSC, mereka bisa menyalurkan bakat terpendam selama ini. TSC biasa berlatih musik setiap hari Ahad pagi sampai sore, terkadang sampai malam.

Siapa pun, dengan background apa pun, silakan belajar musik. Mulai dari pedagang, pelajar, pegawai kantor, pengusaha dan partisan. “Pengamen juga ada, yang menabung untuk beli biola agar bisa ikut latihan”, ujarnya. Beberapa orangtua menemani anaknya berlatih. “Kebanyakan peralatan itu merupakan sumbangan ortu anggota,” ujar Agustinus Esti Sugeng Dwiharso alias Ages (50), dedengkot TSC.

Lulusan SPG Muntilan Van Lith ini yang belajar musik secara otodidak mencoba berbagi ilmu di sini. Dalam melatih, ia tetap berpatokan pada genre musik klasik. Namun mereka juga diajarkan lagu-lagu daerah dengan harapan agar mengetahui sekaligus mencintai musik-musik daerah dan nasional. Ages berharap komunitas yang didirikannya menjadi sebuah lembaga pendidikan nonformal yang bisa menjemput bola memberi pendidikan bagi mereka yang tidak mampu secara finansial.

Total pengajar di TSC ada delapan orang yang beberapa di antaranya merupakan ‘mantan’ murid, tapi kemudian diminta mengajar di ‘almamater’nya. Para pengajar di sini terdorong oleh keinginan pribadi untuk berbagi ilmu. Ages sendiri secara sukarela mengajari musik kepada anggota komunitas ini. Ages berpikir hal ini merupakan sumbangan yang bisa diberikan untuk musik Indonesia.

Inspirasi pembentukan komunitas ini muncul pada tahun 2006. Saat itu Ages diundang untuk menjadi tutor orang Eropa menyosialisasikan musik keroncong di Den Haag, Belanda. Di sana ia melihat pemandangan unik yaitu permainan Brass Band (sekelompok marching band dengan alat tiup) di salah satu taman. Beberapa musisi memainkan musik di taman kota. Ini menarik. Lebih menarik kalau bisa di-copy paste. Dia pun kepincut melakukan serupa di Tanah Air sepulang dari Negeri Kincir Angin.

Komunitas TSC terbentuk bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, 20 Mei 2007. Dirintis empat orang pemain biola. Semakin lama yang tergabung di dalamnya makin beragam. Meski begitu, Ages berharap banyak dari generasi muda. “Generasi kita sudah menjadi imperialis dan komsumtif. Tiap weekend orang tua cuma bisa ajak anak nge-mall. Habit seperti harus kita perangi,” ujar lelaki berperawakan tinggi, besar, berjenggot, berkumis tebal dengan rambut sepanjang punggung dikuncir dan menyebut dirinya ahli gesek.

Di awal-awal, mereka yang berlatih di TSC tidak dikenakan biaya sama sekali. Seiring pertumbuhan anggota yang semakin banyak dan keperluan lainnya, tiap anggota dikenakan iuran Rp100 ribu. Anggota bebas mau berlatih berapa lama tanpa batasan waktu. Ini jauh lebih murah ketimbang les musik dengan biaya Rp300 ribu hingga Rp400 ribu sekali pertemuan berdurasi 30—60 menit; atau Rp150 ribu hingga Rp200 ribu untuk 40 menit jika guru datang ke rumah.

            Fokus  awal kegiatan TSC memang pada alat musik biola. “Sistem ini saya program seperti sekolah musik, jadi ada syllabus dan handout, jadi seperti sekolah nonformal tetapi bentuknya komunitas,” katanya. Kini, Mas Ages memiliki 12 asisten. Kini, selain kelompok musik TSC, di Taman Suropati juga ada komunitas lain. Yakni komunitas teater, gitar, not balok, biola, seni tari, dan seni rupa. Di sini mereka saling berbagi ilmu dan kepandaian. Mereka saling memotivasi, saling berbagi dalam menggairahkan hobi dan minat dalam suasana kebersamaan.

Anggota TSC dibagi menjadi lima tingkatan level. Kelas pertama adalah kelas bibit atau new comer. Kedua, kelas akar, yang bermain tangga nada dengan jangkauan lebih panjang. Ketiga, kelas batang, anggotanya harus sudah mampu membaca dan memainkan notasi balok. Keempat adalah kelas dahan, mereka dituntut untuk bermain ensemble biola 1 dan biola 2. Level teratas adalah kelas ranting, mereka sudah menjadi asisten dan mengajar untuk adik-adik tingkatnya.

Les biola untuk anak-anak pukul 10:00–12:00 WIB; tingkat remaja dan dewasa pukul 13:00. Selain belajar musik, baik not balok maupun teknik bermain alat musik, para anggota juga bisa belajar memperbaiki biolanya dari anggota yang lain ataupun sekadar ‘menyulap’ biola kualitas tiga menjadi setara kelas satu. Tak hanya dari Jakarta, anggota komunitas musik ini juga banyak berdatangan dari Bekasi, Depok, Parung serta Serpong Tangerang.

Ages memikirkan pilot proyek untuk mengembangkan komunitas-komunitas serupa di daerah lain.  “Kami akan mengirim dua orang mentor ke daerah-daerah lain untuk membantu pengembangan komunitas seperti,” katanya. Ia berharap adanya perhatian dari pemerintah maupun swasta untuk lebih mengembangkan komunitasnya. Instansi seperti Bappenas memang sudah memberikan perhatian. Atase Kebudayaan Amerika Serikat pun ikut membantu pendanaan.

Tanpa digawangi musisi-musisi besar seperti Purwatjaraka, Erwin Gutawa, Elfa Scioria, ataupun Dwiki Darmawan, nama TSC toh mencuri perhatian. Mereka tercatat dua kali diundang manggung di Istana Negara, tiga kali konser di Gedung Kesenian Jakarta. Mereka juga diikutkan dalam Parade Senja pada 2008. Pada 2009, konser mengenang maestro Ismail Marzuki di Graha Bhakti Budaya Tama  Ismail Marzuki. Beberapa kali TSC bermain di Kedutaan Besar Amerika, Singapura dan Rusia.

Catatan penting lainnya, Taman Suropati Chamber juga berhak atas penghargaan rekor Museum Rekor Indonesia besutan Jaya Suprana itu pada tahun 2010 sebagai “The First Music Community in the Park”. Sebuah komunitas yang jadi ajang family gathering yang mengusung konsep Rekreatif, Edukatif dan Kreatif, memanfaatkan ruang publik untuk belajar.●(Zian)

pasang iklan di sini