octa vaganza

Likuiditas Ketat Mendorong Perang Suku Bunga

Untuk mengurangi tekanan likuiditas, perbankan diprediksi akan berlomba-lomba dalam  menawarkan suku bunga simpanan kepada nasabah.

Sejalan dengan tekanan eksternal yang tidak kunjung reda, industri perbankan kini dihadapkan pada risiko likuiditas. Hal itu disebabkan kenaikan penyaluran kredit yang tidak diimbangi dengan peningkatan perolehan dana. Akibatnya, rasio penyaluran kredit terhadap dana (loan to deposit ratio/LDR) melonjak.

Melansir data OJK per September 2018, kredit perbankan tumbuh sebesar 12,69% dan DPKhanya naik 6%. Sementara LDR melonjak menjadi 93,39%, melebihi angka ideal batas atas sebesar 92%. Risiko likuiditas tertinggi terjadi di bank umum kelompok usaha (BUKU) III, atau bank bermodal inti antara Rp5 triliun sampai Rp30 triliun. Bank menengah itu mencatatkan LDR sebesar 103%. Dari sumber yang sama, LDR Bank BUKU IV 89,43%, BUKU II 90,91%, dan BUKU I 83,91%.

Bank BUKU III yang sedang berjibaku dengan persoalan likuiditas di antaranya adalah Bank Panin dengan LDR sebesar 109,16% dan Bank OCBC NISP dengan LDR sebesar 100,91%. Sementara bank-bank jumbo atau BUKU IV relatif aman karena memiliki perolehan dana yang memadai.

Fenomenan ketatnya likuiditas dipandang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berpotensi untuk terjadinya perang suku bunga.  “Pertumbuhan kredit yang kembali naik pada September lalu kembali menegaskan pola lanjutan pertumbuhan dari bulan sebelumnya sehingga LDR industri naik. Pertumbuhan kredit yang relatif lebih tinggi ini adalah cerminan kondisi likuiditas perbankan yang cenderung ketat dan berpotensi mendorong persaingan tingkat bunga yang lebih tinggi,” ujar LPS dalam Publikasi Indikator Likuiditas, 21 November 2018.

Dalam catatan LPS, rata-rata bunga deposito rupiah (dihitung dengan rata-rata bergerak 22 hari) bank benchmark LPS pada akhir Oktober 2018 mencapai 5,95%, naik 17 bps dari posisi akhir September 2018. Hal yang sama terjadi pada rata-rata suku bunga minimum yang naik 9 bps ke posisi 4,93% dan suku bunga maksimal yang naik 26 bps ke level 6,98%.

 

Antisipasi BI

Menyadari ketatnya likuiditas di industri perbankan, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan pelonggaran instrumen moneter untuk mengelola likuiditas. BI mengumumkan pelonggaran aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging dari 2% menjadi 3%. Dengan begitu,  dari total kewajiban pemenuhan GWM rupiah sebesar 6,5% dari DPK, sebesar 3% di antaranya harus dipenuh secara rata-rata dalam periode tertentu.

“Untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi di perbankan, BI menaikkan porsi GWM rupiah rata-rata baik konvensional dan syariah dari 2% menjadi 3%,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers di Jakarta, 15 November 2018.

BI juga melonggarkan aturan Penyangga Likuiditas Makroprodunsial (PLM) yang merupakan penyempurnaan dari aturan GWM sekunder. Dalam kebijakan terbaru, Bank bisa menggadaikan surat berharga yang dimiliki dari semula 2% menjadi 4% dari total DPK.  Artinya, peluang bank untuk mendapatkan suntikan dana segar dari BI bertambah besar.

Ketatnya likuiditas perbankan diprediksi bisa berlanjut sampai pertengahan tahun depan. Apalagi inflasi kemungkinan besar naik menyusul kenaikan suku bunga acuan. Oleh karenanya, perbankan dituntut untuk pintar-pintar merayu nasabah agar menyimpan dananya di tempat mereka. (Kur).

Exit mobile version