BANDUNG—Pembongkaran sebuah rumah yang tinggal yang sempat menjadi tempat usaha di Jalan Patuha nomor 26, Bandung yang direnovasi pemiliknya mencuat.
Pasalnya rumah tersebut masuk dalam kategori cagar budaya tipe B berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya.
Ketua Bandung Heritage Aji Bimarsono apa yang terjadi di Jalan Patuha ini memperkuat indikasi bahwa kondisi bangunan cagar budaya di Kota Bandung berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Pembongkaran bangunan dilakukan dilakukan begitu saja, tanpa diketahui.
“Berdasarkan laporan teman-teman di lapangan tidak ada plang IMB di depan bangunan tersebut. Padahal itu melanggar Perda No 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya,” ujar arsitek lulusan ITB ini kepada Peluang, Rabu (24/6/20).
Perda tersebut menyebut, terdapat 255 bangunan termasuk golongan A, 454 bangunan termasuk golongan B dan 1.061 termasuk golongan C. Total terdapat 1.770 bangunan yang harus dilindungi. Jumlah itu masih bertambah seiring dengan pendataan yang dilakukan oleh Tim Ahli Cagar Budaya.
“Bandung mempunyai kekayaan arsitektur bangunan mengingat kota ini oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1910-an direncanakan menjadi ibu kota. Ada bangunan pemerintahan, perkantoran, komersial hingga perumahaan. Bukan saja arsitektur Belanda, tetapi juga hibrida dengan arsitektur tradisional diarahkan menjadi arsitektur khas Hindia Belanda,” papar Aji.
Persoalannya adalah pada penegakan hukum. Kalau dibiarkan Bandung akan pelan-pelan akan kehilangan identitas sejarahnya. Keberadaan taman-taman dan bangunan cagar budaya itu adalah karakter kota ini, terutama di bagian utara.
Kerap juga ada bangunan yang sulit ditentukan siapa pengelolanya. Bangunan eks Bioskop Panti Karya di Jalan Merdeka, dibiarkan terbengkalai. Bangunan ini sudah 20 tahun jadi perhatian Bandung Heritage karena memang memiliki makna sejarah.
Bangunan ini memang baru berdiri pada 1959 sebagai gedung milik Persatuan Buruh Kereta Api di Jalan Merdeka nomor 31 dan memang dinamakan Gedung Panti Karya. Menurut Pikiran Rakjat, 7 Desember 1959 gedung itu diresmikan oleh Menteri Muda Perburuhan Ahem Erningpradja dan dihadiri oleh Sanusi Hardjadinata, Panglima Siliwangi Kolonel Kosasih dan Dirjen Kereta Api R. Abu Prajitno, Oja Somantri.
Menurut kriteria yang dituangkan Perda nomor 7 Tahun 2018 itu selain usia bangunan 50 tahun, mewakili masa gaya arsitektur di era paling singkat berusia lima puluh tahun tersebut, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguata kepribadian daerah dan bangsa. Jelas Panti Karya memiliki lebih dari satu aspek.
“Menjadikan bangunan cagar budaya sebagai tempat komersial hingga pemilik punya uang untuk memeliharanya juga merupakan solusi. Hanya saja perlu diperhatikan, bukan saja mempertahankan bagian eksterior maupun interior bangunan, tetapi juga lingkungan dan halamannya,” ungkap Aji.
Kafe Dakken di Jalan Martadinata (dulu Jalan Riau adalah salah satu contoh yang cukup baik bagaimana memelihara bangunan sekaligus juga mempunyai nilai ekonomisnya. Bangunan yang didirikan pada 1930-an ini, dahulunya merupakan tempat tinggal.
Lanjut Aji, bangunan bersejarah yang menjadi tempat tinggal di Bandung yang bukan saja untuk pejabat tinggi, tetapi juga perumahan pegawai kelas bawah / perumahan kecil contohnya bisa kita lihat di kawasan Jalan Gempol, Jalan Saninten, Jalan Rasamala. Sementara di Jalan Cimanuk terdapat bangunan bersejarah dengan ukuran kecil dan sedang.
Ini menjadi indikasi bahwa kota ini memang disiapkan Pemerintah Hindia Belanda untuk jadi ibu kota. Jalan yang dibangun pun tidak terlalu lebar, banyak berbelok, untuk tidak rumah yang tidak terlalu banyak, tetapi ruang terbuka hijaunya luas. Kota ini memang awalnya dirancang untuk berpenduduk 500-700 ribu jiwa. Sayangnya, sekarang jadi padat.
“Kalau saja seribuan bangunan bersejarah ini bisa terjaga pelestariannya, maka akan melengkapi taman-taman yang sudah eksis. Wisatawan berkunjung akan mengenali identitas kota Bandung yang tidak terdapat di kota lain, hingga bukan hanya Gedung Sate saja,” pungkas Aji (Irvan Sjafari).