JAKARTA— Pada 2020, Indonesia mampu memproduksi minyak sawit sebesar 5,24 juta ton pada Oktober 2020 dengan besaran konsumsi hanya 1,5 juta ton. Meski setahun kemudian pada Oktober 2021, turun 15,8%, dimana produksi minyak sebesar goreng 4,41 juta ton, tapi konsumsi masih konstan sekitar 1,5 juta ton.
Dengan data seperti ini kata legislator dari Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddi ini maka kelangkaan minyak goreng masih terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia menimbulkan tanda tanya. Para ibu rumah tangga rela antre berjam-jam di toko perbelanjaan. Tak sedikit pula para pembeli rela berdesakan demi mendapatkan minyak goreng murah.
Situasi ini sudah mulai mencoreng wajah negara Indonesia, mengingat menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun masyarakatnya kesulitan minyak goreng.
“Rebutan minyak goreng padahal bahannya melimpah, ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Jadi tidak ada alasan negara ini kekurangan minyak goreng, tapi situasi wajah negara kita sangat miris pada tata kelola komoditas minyak goreng ini,” ujar Andi Akmal, Selasa (8/3/22).
Seharusnya kata Akmal, komoditas pangan strategis dipacu untuk dapat diproduksi dalam negeri sehingga kualitas dapat terjaga.
Apalagi sifat kadaluarsanya yang cepat, dan harganya dapat dikendalikan dengan instrumen kebijakan negara.
Bahkan menurut Akmal komoditas seperti beras, gula, turunan kedelai (tahu tempe), cabai, minyak goreng, daging sapi daging ayam, telur ayam, bawang, jagung dapat dioptimalkan produk dalam negerinya.
“Jadi mesti ada upaya, mengurangi jumlah impor pangan agar ada pemberdayaan petani, peternak sekaligus memberikan kebutuhan pada masyarakat banyak sebagai konsumen,” imbuhnya.
Terkait dengan keseragaman harga, pemerintah perlu memikirkan subsidi memikirkan transportasi pangan sehingga ada kesamaan harga komoditas pangan antara di desa dan di kota
Seetelah kebijakan minyak goreng dijual dengan harga Rp14 ribu per liter, seharusnya diimbangi stok yang cukup.
“Jangan sampai pemerintah menuduh rakyat menimbun minyak goreng. Logika nya dimana mau nimbun, untuk dapat seliter saja rebutan dan setiap pembelian dibatasi maksimal dua liter,” tuturnya
Akmal mengungkapkan justru yang perlu ditelusuri adalah kondisi sistemik apa yang berkemampuan menimbun minyak goreng dengan jumlah besar sehingga kelangkaan stok di berbagai wilayah dan pertokoan terjadi.
“Jangan gara-gara minyak goreng, wajah negara kita ini hancur yang memperlihatkan situasi krisis yang buruk akibat perilaku masyarakat yang berebutan demi satu liter minyak goreng,” tutup dia.