Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran
reff:
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perey
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
reff:
Maafkan lahir dan batin,
‘lang tahun hidup prihatin
Cari wang jangan bingungin,
‘lan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
reff:
Maafkan lahir dan batin,
‘lang taon hidup prihatin
Kondangan boleh kurangin,
Korupsi jangan kerjain
Di atas adalah lirik lagu asli “Selamat Hari Lebaran” yang diciptakan oleh Ismail Marzuki tahun 1954 dan direkam di studio RRI Jakarta. Komponis besar yang namanya diabadikan dalam sebuah Taman pusat kebudayaan di Cikini Jakarta Pusat ini menguasai delapan alat musik: harmonika, mandolin, gitar, ukulele, biola, akordeon, saksofon, piano (CNN Indonesia).
Apa yang menarik dari lirik lagu lebaran tersebut? Ismail bercerita tentang kehidupan rakyat mulai lebaran, zakat fitrah, mendoakan pemimpin, mendoakan rakyat, potret rakyat desa yang main ke kota ketika lebaran, fenomena pernikahan di bulan syawal, cara orang kota merayakan lebaran dengan berjudi dan mabuk, dan pesan terakhir dari lagu itu, korupsi jangan kerjain.
Menyimak lagu tersebut, fenomena korupsi di negeri ini agaknya sudah terjadi dari dulu, setidaknya dari tahun 1950an. Hampir 70 tahun lagu ini diciptakan, korupsi sepertinya tidak berhenti. Kenapa korupsi sulit sekali diberantas di negeri ini?
Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi menurut UU No 31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengelompokkan korupsi kedalam 7 jenis utama, yaitu: merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Korupsi dalam Islam, di antaranya dikenal dengan istilah Ghulul. Dalam hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.
(‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi bertanya, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian. Lalu nabi pun menegaskan, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR Muslim No. 3415).
Kalau dilihat hadits di atas dengan seksama, maka inti dari korupsi yang dimaksud adalah “tidak mengambil yang bukan haknya”. Ternyata 7 jenis korupsi yang tercantum dalam UU No 20/2001 semuanya berkisar pada mengambil yang bukan haknya.
Tentang korupsi dalam terminologi pengkhianatan (ghulul), Allah menjelaskan dalam Al Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 161 yang artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa tentara Islam kehilangan sutra merah hasil ghanimah di perang Badar dari kaum musyrikin. Orang-orang pun (orang munafik) berkata: “Barangkali nabi mengambilnya”. Maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan bahwa Nabi tidak mungkin korupsi (berkhianat dalam harta). Orang yang korupsi, maka di hari kiamat dia akan membawa apa yang dikorupsikannya itu, dan dibalas dengan balasan yang setimpal.
Tentang korupsi dalam terminologi pencurian (As-Sariqah), Allah menjelaskan dalam Al Qur’an surat Al-Maidah [5] ayat 38 yang artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Ayat ini menegaskan, hukuman bagi koruptor disamakan dengan hukuman bagi pencuri.
Tentang korupsi dalam terminologi penyuapan (As-Suht), Allah menjelaskan dalam Al Qur’an surat Al-Maidah [5] ayat 42 yang artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (As-Suht) …”. Ibn Abbas menyebutkan bahwa salah satu bagian dari As-Suḣt adalah suap menyuap dalam urusan hukum.
Semoga di hari lebaran ini, di mana setiap muslim merayakan iedul fitri yang maknanya kembali kepada kesucian, dapat mengurangi korupsi di negeri ini. Seperti harapan Ismail Marzuki dan juga harapan kita semua.[]
Penulis adalah Wakil Direktur Pascasarjana UIKA Bogor, Anggota Badan Wakaf Indonesia dan Ketua Pengawas Syariah Koperasi BMI.