Peluangnews, Jakarta – Aacana pelarangan beribadah haji lebih dari satu kali memerlukan kajian komprehensif. Baik dari aspek syariah maupun perundang-undangan, karena keduanya saling terkait. Pelarangan justru melanggar hak asasi manusia (HAM)
“Dari perspektif syariat islam tidak ada riwayat larangan haji lebih dari satu kali. Bahwa Rasulullah SAW selama hidupnya haji hanya sekali itu benar, namun tidak ada riwayat yang tegas melarang umat Islam haji lebih dari sekali,” tegas Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj, kepada wartawan, di Jakarta, Senin (28/8/2023).
Dari aspek hukum positif, lanjut dia, justru pelarangan berpotensi melanggar HAM dan konstitusi. Sebab, hak beribadah adalah bagian hak yang paling asasi bagi setiap warga negara. Pada saat yang sama negara bisa dianggap terlalu jauh mencampuri urusan privat.
“Malah kebijakan ini nantinya bisa menciptakan resistensi. Persoalan haji berkali-kali sesungguhnya ada pada tataran moral-etika,” tegas Mustolih.
Dia menambahkan, merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIII/2015, haji berkali-kali tidak bertentangan dengan konstitusi.
Oleh sebab itu, Komnas Haji mengusulkan jalan tengah yang lebih logis dan moderat, haji lebih dari satu kali tidak perlu secara eksplisit dilarang, tetapi harus ada aturan tegas jeda waktu panjang bagi yang sudah berhaji untuk pergi ke tanah suci lagi yang baru diperbolehkan minimal setelah 20 atau 30 tahun.
“Hal ini untuk memberikan keadilan dan kesempatan kepada masyarakat lain yang belum pernah haji,” tegasnya.
Dengan rerata antrean haji saat ini sudah 20 tahun setiap wilayah bahkan lebih, dari segi usia sudah tidak memungkinkan melaksanakan haji lagi untuk yang kedua apalagi ketiga. Ini bentuk larangan halus yang dikemas dalam bentuk lain tanpa perlu menabrak aturan syariat maupun konstitusi.
Kebijakan jeda haji semecam ini sebenarnya sudah dibuat oleh Kementerian Agama melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2015 sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat 4 yang mengatur pendaftaran haji regular dengan memberikan jeda mendaftar haji bagi yang sudah ke tanah suci baru bisa setelah 10 tahun kemudian.
“Sampai hari ini aturan ini cukup konsisten dilaksanakan oleh Kemenag dan cukup efektif menekan upaya masyarakat berhaji berkali-kali. Terpenting, sejak beleid itu terbit tidak ada resistensi dan pihak yang keberatan,” ujar Musyolih.
Ke depan jangkauan aturan jeda daftar haji ini harus diperluas bukan hanya diterapkan pada haji regular tetapi juga kepada calon jemaah haji khusus maupun yang menggunakan visa mujamalah (haji furoda). Bila perlu ada kalusul sanksi tegas bagi yang melanggar dan oknum yang turut membantu.
Selain itu, aturan tersebut perlu dinaikkan levelnya dri PMA diadopsi menjadi undang-undang supaya lebih kuat dan mengikat, terlebih revisi UU haji dan Umrah sudah mulai dibahas di DPR dan masuk prolegnas prioritas. (Aji)
Baca Juga: Alhamdulillah, Seluruh Jemaah Haji Indonesia 1444 H Sudah di Tanah Suci