95 persen pengunjung mal berasal dari kelompok menengah ke bawah, yang kini ekonominya sedang tertekan. Sementara kelompok atas cenderung lebih berhati-hati membelanjakan uang.
Maraknya fenomena ‘Rojali’ (rombongan jarang beli) dan ‘Rohana’ (rombongan hanya nanya) belakangan ini layak dicermati. Kedua istilah ini merujuk pada ramainya pengunjung pusat perbelanjaan, tapi mereka tidak berbelanja. Fenomone ini, kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mencerminkan kondisi finansial masyarakat.
Di dalamnya meliputi uang yang semakin sulit untuk ditabung, lesunya daya beli, pinjaman dana yang makin mudah untuk diakses tapi berat untuk diselesaikan tanggung jawabnya. Indikatornya bisa kita lihat dari tingkat tabungan yang mengalami penurunan, tingkat penjualan sektor riil, penjualan barang ritel yang turun di triwulan kedua daripada triwulan satu, serta pinjaman yang meningkat terutama melalui fintech lending.
Pendapat senada dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Ia menunjuk dorongan lain dari tren kenaikan jumlah PHK di beberapa sektor industri, yang mempengaruhi konsumsi masyarakat. “Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok,” ujar Esther.
Bagi BPS, fenomena Rojali dan Rohana merupakan sinyal masyarakat (yang) menahan konsumsi/belanja. “Fenomena ini memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tetap relevan sebagai gejala sosial. Bisa jadi ada (karena kebutuhan) untuk refresh atau tekanan ekonomi, terutama kelas yang rentan,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono.
Dalam konteks kebijakan, kata Ateng, Rojali-Rohana dapat menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan sekaligus menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga. “Rojali-Rohana adalah sinyal penting bagi membuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga di kelas menengah bawah”. Patut dicermati apakah itu menandai kelas atas, menengah, atau rentan, atau bahkan di kelas miskin.
Fenomena Rojali-Rohana terjadi lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Hal ini dibenarkan Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja. Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan. Kunjungan ke pusat perbelanjaan bahkan meningkat sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu. Meski pengunjung bertambah, jumlah yang berbelanja tetap minim.
Diketahui bahwa 95 persen pengunjung mal berasal dari kelompok menengah ke bawah, yang saat ini sedang mengalami tekanan ekonomi. Sementara kelompok atas cenderung lebih hati-hati membelanjakan uang dan sebagian memilih shopping ke luar negeri. APPBI memprediksi pertumbuhan omzet pusat belanja tahun ini masih positif, meski hanya di bawah 10 persen. Faktor penyebab lainnya adalah pengaruh pengetatan anggaran pemerintah dan dampak ekonomi global.
Mau tak mau, diperlukan adanya intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli melalui solusi yang berdampak luas dan berkelanjutan. “Penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” kata Esther.●