Dalam beberapa tahun terakhir ini film sineas film horor Indonesia makin serius menggali cerita berdasarkan folkfore dan riset untuk menyajikan film yang berbeda dengan film horor impor. Di antaranya adalah “Lampor:Keranda Terbang” yang diproduksi Star Vision dan disutradarai oleh Guntur Soeharjanto.
Cerita ini berdasarkan pengalaman masa kecil Guntur di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, kepercayaan masyarakat setempat tentang keberadaan setan keranda terbang yang disebut Lampor yang diduga membuat lenyap sejumlah orang, kalau pun ditemukan kembali kerap mengalami gangguan jiwa.
Dalam film ini juga diselipkan testimoni dari saksi atau anggota keluarganya yang pernah “diculik” oleh Lampor.
Hasilnya secara sinematografis, Lampor memang menyanyikan tontonan horor yang mampu keluar dari ramuan horor Hollywood kontemporer, seperti “Conjuring”.
Keberadaan pemuja untuk tujuan tertentu dengan bantuan dukun membuat cerita ini berakar secara budaya, mengingatkan pada film klasik Indonesia 1970-an, terkait jangan berbuat dosa atau kesalahan moral.
Dalam film ini, kalau ada lampor datang yang ditandai oleh bunyi khusus, jangan terlihat dan jangan melihat. Warga menggunakan daun tembakau untuk menyarukan diri jika berada dlam lintasan Lampor.
Adanya tanaman tembakau, berakar dengan sosial ekonomi dari Kabupaten Temanggung, sebagai sentra tembakau menjadi setting film ini semakin kuat.
Kearifan lokal untuk tidak berada di luar rumah lepas Isya di beberapa tempat di Temanggung, masih dipatuhi. Menurut Sang Produser Cahand Parwex Servia, konten lokal dengan mitologi Jawa, tidak lepas dari mistis dan klenik menjadi dasar cerita ini.
Lampor punya versi di berbagai tempat di Jawa, selain Temanggung, ada juga versi Solo dan Yogyakarta. Dalam sebuah adegan bahkan disebutkan bahwa Lampor terkait Laskar Nyai Roro Kidul.
Adegan pembuka, ketika Netta kecil (Shofia Shireen) diminta ibunya Ratna (Unique Priscillia) menjaga adiknya masih bayi. Sementara dia harusnya suaminya,
Jamal (Mathias Muchus) yang sedang menjalani ritual untuk mendapatkan kekayaan dari dukun Pak Atmo (Landung Simatupang).Karena ketakutan, Netta kecil kehilangan adiknya diambil oleh Lampor.
Sang Ibu gusar membawa Netta hengkang dari kampungnya. Itu kejadian pada 1993. Awal yang sangat mencekam dan Guntur membuat penonton ikut merasakan ketakutan yang dialami Netta kecil.
Pada 2019, Netta dewasa (Adinia wirasti) bersama suaminya Edwin (Dion Wiyoko) tinggal di Medan bersama kedua anaknya Adam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie).
Keluarga ini dihadapkan dengan kesulitan ekonomi, serta meninggalnya ibu Netta. Sebelum meninggal Sang Ibu berpesan untuk menyampaikan berapa hal kepada ayahnya. Sebuah amanat yang tidak bisa ditolak.
Sayangnya, kepulangan Netta dan keluarganya disambut dengan rasa curiga oleh warga setempat. Sang Ayah meninggal dunia.Netta juga mengetahui Sang Ayah sudah menikah lagi dengan Asti (Nova Eliza).
Rupanya kehidupan ekonomi Jamal dan Asti meningkat menjadi pengusaha agribisnis tembakau. Mereka dibantu Bimo (Dian Sidik), seorang bawok (makelar tembakau).
Netta juga bertemu Nining (Annisa Hertami) kawan kecilnya. Di kampung itu, Nettakembali berhadapan dengan Lampor, yang kali ini mengancam keluarganya. Masalahnya bukan hanya Lampor mereka hadapi.
Dari segi cerita dan sinematografi, Guntur berhasil memadukan drama dan horor dengan porsi yang seimbang. Plot cerita tidak bisa ditebak ujungnya membuat ketegangan mengalir pada awal cerita, jeda sebentar dan kemudian menengang lagi hingga akhir cerita menjadi kekuatan film ini.
Tentunya juga unsur tradisional yang begitu kaya membuat “Lampor: Keranda Terbang” layak disebut horor original Indonesia (Irvan Sjafari).