Menurunnya daya beli masyarakat diprediksi akan memperlambat ekspansi pinjaman yang diprediksi hanya mencapai Rp60 triliun, lebih rendah dari realisasi tahun sebelumnya.
Penyebaran wabah Covid-19 yang hingga kini terus berlangsung membuat semua sektor usaha terdampak, tidak terkecuali layanan financial technology peer to peer lending. Pandemi yang menekan daya konsumsi masyarakat memaksa layanan fintech atau sering disebut pinjaman online (pinjol) itu mengerem sementara laju pembiayaannya.
Sunu Widyatmoko, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) mengatakan, pandemi membuat masyarakat menahan diri untuk konsumsi atau ekspansi usaha. Ini berdampak pada tertahannya laju pembiayaan pinjol. “AFPI merevisi target penyaluran pembiayaan Fintech karena melemahnya faktor permintaan,” ujar Sunu dalam webinar beberapa waktu lalu.
Dalam catatan AFPI, adanya pandemi menyebabkan 40% unit UMKM akan gulung tikar dan menyebabkan naiknya angka pengangguran. Kondisi ini otomatis menggerus nilai pasar UMKM dari Rp458 triliun menjadi Rp357 triliun, atau menciut sebesar 22%.
Selama ini pinjol menyasar pada sektor UMKM. Merosotnya target pasar utama tentu berdampak pada usaha pinjol. Sebelum adanya pandemi, AFPI menargetkan penyaluran pinjaman sampai akhir tahun ini sebesar Rp86 triliun atau melonjak 41% dibanding 2019 senilai Rp61 triliun. Namun adanya pandemi target itu direvisi menjadi sebesar Rp60 triliun, atau turun 2% dari realisasi tahun sebelumnya.
Saat ini jumlah perusahaan pinjol resmi dalam naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang beroperasi di Indonesia mencapai 158 perusahaan. Rinciannya, 125 perusahaan berstatus terdaftar dan 33 berizin. Dari jumlah itu, 147 pinjol konvensional dan 11 pinjol syariah.
Kinerja pinjol sampai Juni 2020, outstanding pinjaman fintech sebesar Rp11,77 triliun, atau naik 38,42% secara year on year (YoY). Sementara agregat pinjaman yang disalurkan sebesar Rp113,46 triliun atau naik 153,23% YoY.
Dari sisi lender (penyedia dana), akumulasi rekening mencapai 659.186 rekening atau tumbuh 32,15% YoY. Sementara borrower (peminjam) mencapai 25.768.329 entitas atau naik 164,64% YoY di seluruh Indonesia. Peminjam masih didominasi penduduk yang tinggal di Jawa. Ini sesuai dengan pergerakan ekonomi yang masih terpusat di pulau Jawa.
Meski mengakui pandemi menahan laju agresif, kata Sunu, pihaknya tetap optimis terhadap masa depan pinjol. Ini karena potensi pasar pembiayaan yang masih terbuka lebar. Mengacu data World Bank, diperkirakan kebutuhan pembiayaan UMKM secara nasional sebesar Rp1.650 triliun, namun yang sanggup dipenuhi industri jasa keuangan tradisional hanya sebesar Rp660 triliun. Dengan begitu, ada kesenjangan pembiayaan sebesar Rp989 triliun pertahun. Inilah potensi pasar yang dibidik oleh perusahaan pinjol.
Selain gap pembiayaan yang masih menganga, ada sekitar 46,6 juta UMKM yang belum memiliki akses kredit pada lembaga keuangan tradisional seperti perbankan. Pasar Indonesia juga menggiurkan karena ada 186 juta individu produktif. Mereka inilah yang diyakini memiliki kemampuan daya beli atau sanggup mengakses pembiayaan dengan segala konsekuensinya. “Potensi pasar pembiayaan kita masih besar meski kini sedang diadang pandemi,” ungkap Sunu.
Waspadai Pinjol Ilegal
Pada kesempatan sama, Akta Bahar Daeng, Ketua Sekretariat Satgas Waspada Investasi (SWI) mengatakan, pasar pembiayaan UMKM di Indonesia memang menggiurkan. Ini terlihat dari meningkatnya perusahaan pinjol legal maupun ilegal. Dikatakan ilegal karena perusahaan tersebut tidak mengurus perizinan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Setiap tahun jumlah perusahaan pinjol ilegal cenderung naik meski kita sudah berupaya mencegahnya,” ujar Daeng.
Dalam catatan SWI, pada 2018 ada 404 entitas fintech P2P ilegal. Satu tahun kemudian jumlah itu meningkat menjadi 1.493 entitas. Sampai Juli 2020, jumlahnya menjadi sebanyak 694 entitas dan diprediksi akan bertambah sampai akhir tahun.
Maraknya pinjol ilegal tidak lepas dari tingginya permintaan, terutama mereka yang membutuhkan dana. Hal itu tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai tentang tingkat suku bunga maupun keabsahan perusahaan pinjol.
Untuk mencegah kerugian yang bakal diderita masyarakat, Daeng memberikan tips agar terhindar dari fintech ilegal. “Jika ingin meminjam dana pinjamlah pada fintech yang terdaftar di OJK,” ujar Daeng.
Selain itu masyarakat juga disarankan meminjam sesuai kebutuhan dan kemampun. Pahami pula manfaat, suku bunga, jangka waktu dan denda agar tidak merepotkan pada masa mendatang. Ia juga menyarankan agar masyarakat berpikir legal dan logis dalam berhubungan dengan perusahaan pinjol. (Dja).