Irsyad Muchtar
Apa yang terjadi di Jumat pagi 17 Oktober 1952 ketika moncong-moncong meriam mengarah Istana Merdeka Jakarta? Hari itu, tiga puluhan ribu demonstran yang dikawal para tentara dari kesatuan Angkatan Darat mengepung Istana Merdeka Jakarta, mengejutkan Presiden Sukarno yang sedang olah raga pagi.
Kemal Idris, Komandan Divisi Tujuh Siliwangi mengerahkan satu batalion artileri dengan empat buah meriam menderu mengelilingi halaman istana. Spanduk besar terpampang di tengah kerumunan massa, bertuliskan “Bubarkan Parlemen!” poster lainnya “ Parlemen Bukan Warung Kopi!”, “Mana Beras?”, ”Berantas Korupsi”, mereflesikan perekonomian yang sulit kala itu. Hubungan sipil dan militer memanas ditandai intervensi parlemen di tubuh militer, sementara pemilu untuk memilih anggota DPR definitif tak kunjung digelar.
Tujuh panglima daerah dipimpan Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution menghadap Sukarno. Mereka mendesak DPRS dibubarkan yang dengan tegas ditolak oleh Sukarno karena tak ingin disebut diktator, sebaliknya ia menuduh tentara telah melakukan kudeta kecil dengan mamamerkan kekuatan senjata di depan istana. Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Sukarno bertutur : … Dengan tenang aku berjalan menuju massa yang tengah beringas itu. Alih-alih gemetar ketakutan di bawah moncong-moncong meriam, aku menatap langsung ke mulut-mulut senjata itu dan tanpa rasa takut melampiaskan kemarahan pada mereka yang mencoba membunuh demokrasi dengan pasukan bersenjata.”
Pidatonya yang menggelegar berhasil merebut hati massa yang kemudian membubarkan diri sambil meneriakan yel-yel “Hidup Bung Karno”.
Seperti kata Herbert Feith, Sukarno adalah tipologi pemimpin yang mampu menggalang solidaritas massa (solidarity makers). Sementara Bung Hatta lebih kental dengan tipologi kepemimpinan Administrator.
Alhasil, kudeta ‘setengah hati’ itu gagal. Nasution dipecat, dan Kemal Idris, tentara berpangkat mayor yang berani itu dikandangkan. Ia kehilangan promosi jabatan militer selama 13 tahun hingga pada 1965 Soeharto memberinya kesempatan untuk memukul balik Sukarno pada 11 Maret 1966. Saat itu, Sukarno tengah memimpin rapat Kabinet 100 Menteri. Kemal melakukan aksi gerilya dengan mengirim satu pleton pasukan RPKAD tanpa tanda pengenal mengepung Istana. Aksi tersebut disertai ribuan mahasiswa yang membawa spanduk Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) terus merangsek memasuki ruang sidang kabinet. Aksi mahasiswa yang mendapat perlindungan TNI Angkatan Darat terutama oleh Kemal Idris, Sarwo Edhi dan Ali Murtopo semakin beringas terlebih dalam demonstrasi sebelumnya seorang rekan mereka, Arif Rahman Hakim tewas diterjang peluru; martir pertama dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia.
Sukarno yang panik menyadari bahwa kekuasaannya sudah berada di ujung tanduk, bergegas meninggalkan ruang sidang, kabur dengan menggunakan helikopter menuju Istana Bogor. Sementara Kabinet Dwikora II yang kondang dengan sebutan Kabinet 100 menteri yang baru saja dibentuk, kocar-kacir melarikan diri. Kemal Idris sukses mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai presiden.
Namun di perjalanan awal Orde Baru, sebagai Panglima Antardaerah Wilayah Indonesia Timur ia didubeskan lantaran terlalu populer di kalangan kaum muda. Soeharto was-was, bahwa bukan tidak mustahil Kemal juga akan melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan terhadap Sukarno. Firasat itu terbukti ketika belakangan Kemal bergabung dengan grup Petisi 50, berbalik mengritik kepemimpinan Soeharto yang otoriter.
Apakah sejarah akan berulang? Agaknya kita bisa belajar dari Revolusi Prancis, yang di awal mengusung nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Pada gilirannya berakhir dengan pemerintahan teror dan transformasi kaum revolusioner menjadi penindas baru, seperti Napoleon Bonaparte.[]