JAKARTA—-Sinta (Lala Karmela) melangkahkan kakinya dengan perlahan ke pedepokan tempat Bu De-nya Dewi (Ria Irawan) mengajar menari beberapa anak. Irama musik membuat dia menggerakan tangan dan kemudian tubuhnya dan terus mendekat. Tatapannya matanya menunjukan dia terpikat. Dewi menyambutnya dengan sinis. Latihan tari dihentikan dan anak-anak diminta pulang.
Di desa tak jauh dari Canda Brobudur yang letaknya ribuan kilometer dari tempat kelahirannya dan tempat tinggalnya di Agra, India Sinta menemukan pesona lain dari negeri yang tadinya hanya dikenalnya melalui foto dan percakapan renyah dengan ibu dan pembantunya. Sinta lebih mengenal Taj Mahal.
Sinta seorang perempuan India keturunan sebetulnya sedang merencanakan pernikahannya dengan Vikas (Sahil Shah). Namun menjelang acara seserahan, Widi (Cut Mini) pulang ke Indonesia setelah mengetahui ayahnya sudah meninggal. Kepulangannya ke kampung halamannya disambut dengan tidak bersahabat oleh kakaknya Dewi.
Keluarganya keturunan ningrat sudah menganggapnya sebagai anak hilang karena dulu Sinta kawin lari dengan seorang pria India. Keluarganya memiliki sebuah guest house yang dikelola oleh adiknya Widi, Dimas (Dian Sidik) di perdesaan itu. Namun Widi berkeras ingin mengadakan selamatan untuk ayahnya.
Sinta datang menyusul bermodalkan sebuah foto lama orangtuanya, bermaksud menjemput kembali ibunya agar ikut upacara serahan menurut tradisi India. Persoalannya bukan saja tidak mudah membujuk ibunya, tetapi Sinta menemukan rahasia keluarganya yang selama ini tidak diceritakan ibunya.
Berbagai peristiwa termasuk berurusan dengan sindikat pencurian candi, pertemuan dengan Panji, seorang arkeolog muda (Dimas Aditya), membuat Sinta gamang akan jati dirinya. Kegamangan yang tidak saja membuatnya harus memilih jalan hidupnya, tetapi juga mengancam pernikahannya.
Film yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis ini dan skenarionya ditulis Salman Aristo mengungkapkan selapis demi selapis penemuan jati diri Sinta. Adegan pembuka ketika Sinta kecil belajar menari India kemudian ditarik ibunya akhirnya membuat Sinta menampik permintaan menari dari keluarga calon suaminya, yang saya tadinya tempelan ternyata punya makna yang saling kait mengait dengan adegan selanjutnya.
Kuambil lagi Hatiku bukan sekadar film menjadikan Candi Borobudur sebagai tempat setting film tetapi memberikan pesan, berkaitan kearifan lokal dan keragaman budaya. Pesan nasionalisme disematkan secara halus dalam film ini.
Kinoy mampu memberikan panorama memikat bukan saja Candi Borobudur, tetapi juga suasana asri perdesaan dan guest house dengan arsitektur Jawa yang ciamik.
Film ini merupakan produksi pertama dari BUMN Produksi Film Nasional (PFN) setelah vakum selama 26 tahun. Menurut Direktur PFN Muhammad Abduh Aziz membuat film di era milenial ini tidak sama ketika masa Orde Baru, di mana propaganda negara menjadi pesan utamanya.
“Kami ingin memberikan pesan sesuai misi PFN, tetapi tidak menggurui,” ujar Abduh kepada awak media dalam press screening, Rabu (13/3/2019).
Pemilihan India sebagai lokasi syuting memang berbeda dengan sejumlah film Indonesia ketika memilih lokasi syuting kebanyakan memilih negara-negara Eropa atau Amerika Serikat. Menurut Abduh secara budaya Indonesia dan India relatif dekat.
“Penggunaan empat bahasa dalam dialog film ini seperti Bahasa India, Bahasa Inggris,Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa membuka kemungkinan film ini bisa dipasarkan di negera-negara Asia,” pungkas Abduh, seraya menyebutkan PFN sedang menyiapkan beberapa film lagi pada 2019 ini (Irvan Sjafari).