octa vaganza

Krisis Keuangan Asia

Peristiwa kejatuhan mata uang Asia pada Juli 1997 bermula dari Thailand yang kala itu tengah dililit utang luar negeri yang besar. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan dengan mengambangkan (hedge) mata uang baht guna melawan serangan para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negaranya. Strategi itu dimaksudkan untuk mendongkrak pendapatan ekspor namun terbukti sia-sia. Nilai baht terhadap dollar AS merosot tajam dan negara diambang kebangkrutan.

Dampaknya merembet ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing –yang telah menanamkan uang mereka di ‘Asian Economic Miracle countries’ (‘Ekonomi-Ekonomi Asia yang Ajaib’) sejak satu dekade sebelum 1997 — kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan membuang mata-mata uang dan aset-aset Asia secepat mungkin. Indonesia termasuk negara yang terkena imbas paling parah akibat krisis krisis keuangan Asia tersebut.

Goncangan mulai menguat ketika di awal Januari 1998 nilai tukar rupiah menyentuh Rp11.000 per 1 USD, bahkan hingga Juli 1998 mencapai Rp14.150. Rentetan Upaya keras dilakukan pemerintahan BJ Habibie berhasil menaikkan nilai tukar rupiah hingga Rp8.000 per 1 USD. Namun depresiasi yang parah itu tak dapat mengembalikan nilai tukar rupiah yang setahun sebelumnya, Juni 1997 berada di level nyaman, Rp2.380 per dollar AS, surplus neraca perdagangan lebih dari USD900 juta, dan cadangan devisa cukup besar, lebih dari USD20 miliar.

Exit mobile version