
Peluangnews, Jakarta – Peningkatan emisi gas rumah kaca yang semakin massive dapat berdampak pada fenomena perubahan iklim ekstrim. Fenomena ini dapat memicu bencana kekeringan dan menambah parah krisis air bersih dunia, bila tidak dicegah bersama-sama.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, masalah ini menjadi ancaman serius bagi peradaban manusia sehingga setiap negara dan masyarakat dunia bertanggung jawab secara bersama-sama untuk mencegah krisis air di masa depan.
“Krisis iklim yang ditandai dengan El Nino pada awal 2023 hingga sekarang ini menyebabkan adanya kekeringan panjang dan menimbulkan krisis air di beberapa wilayah. Ini merupakan bagian kecil dan pendahuluan dari ancaman nyata adanya krisis air bersih,” ucap Dwikorita, di Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk “Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim” yang disiarkan secara live melalui Youtube FMB9ID_IKP pada Senin (16/10/2023).
Proses pemanasan global, lanjut dia, juga akan memicu krisis air, krisis pangan dan bahkan krisis energi, serta meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi dan demografi.
“Diproyeksikan di tahun 2045-2050, Indonesia akan mengalami bonus demografi, jika kita gagal mengendalikan kenaikan suhu dan terus kekeringan hingga krisis air, maka akan terjadi yang namanya krisis pangan, krisis energi dan kondisinya akan chaos mengakibatkan bencana demografi,” jelasnya.
Dwikorita memaparkan pada tahun 2022, melalui pemantauan peta global mengenai kondisi debit air, dari 193 negara setidaknya hanya 38% yang berada dalam kondisi normal. Selebihnya 62% telah mengalami masalah kondisi debit air yang kekeringan atau kebanjiran.
“Hal ini menunjukkan betapa pentingnya monitoring dan observasi untuk memberikan data yang kuat sehingga kita paham bahwa kondisi negara miskin, berkembang dan kepulauan menjadi sangat berdampak dalam krisis air,” jelasnya.
Adanya ketidakmerataan dan ketidakadilan kondisi akibat krisis iklim yang mempengaruhi debit air tersebut, telah menyebabkan sekitar 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021 yang lebih merugikan beberapa negara khususnya Indonesia.
“Akibat cuaca dan krisis air, negara maju mengalami 60% kerugian ekonomi namun umumnya hanya 0,1% dari PDB, sedangkan di negara berkembang 7% bencana bisa menyebabkan kerugian ekonomi 5% hingga 30% dari PDB, sedangkan negara kepulauan kecil 20% bencana menyebabkan kerugian hingga 5% hingga melebihi 100%,” ungkapnya.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja mengungkapkan bahwa tantangan ini membuat berbagai stakeholders harus saling berkolaborasi untuk melakukan berbagai mitigasi jangka panjang,
“Kita perlu bersiap siaga dan perlu menjamin bahwa ketersediaan air bisa tercukupi. Artinya dari pihak Kementerian PUPR, kita terus menambah tampungan-tampungan air seperti menambah bendungan, umbul, memelihara tampungan alami seperti sungai dan danau,”
Endra memaparkan 10 tahun terakhir Kementerian PUPR telah memprogramkan adanya penambahan 61 bendungan. Hingga saat ini, sudah ada 31 bendungan yang diselesaikan, 25 bendungan yang masih berjalan dan akan selesai pembangunannya di tahun 2023.
“Bendungan gunanya sangat penting sekali untuk irigasi pertanian khususnya dalam meningkatkan ketahanan pangan,” jelasnya.
Untuk memaksimalkan pencegahan adanya krisis air global, Indonesia secara konsisten berkolaborasi dengan berbagai negara. Salah satunya melalui acara the 10th World Water Forum (WWF) atau Forum Air Dunia yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-24 Mei 2024.
Perangi Krisis air global
Menurut Yoon-Jin Kim selaku Director of Asia Pacific & 10th World Water Forum, harus ada kolaborasi dari berbagai negara untuk menurunkan gap terkait dampak krisis iklim air terhadap negara miskin, berkembang dan maju serta bersama-sama mencarikan solusi jangka panjang.
“Forum ini penting untuk membahas masalah air sebagai kebutuhan dasar hidup manusia. Semakin menipisnya sumber air bersih yang tidak bisa mengimbangi populasi penduduk dunia, maka akan berujung pada krisis sosial. Dan tentunya, setiap negara memiliki dampak yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan letak geografis, jadi membutuhkan kerjasama dari berbagai stakeholder dan bidang agar kita dapat menjamin persediaan air,” ujar Kim.
Sementara itu, Dwikorita percaya bahwa dalam forum tersebut, Indonesia memiliki peranan penting secara global untuk menjadi penengah bagi negara maju dan miskin.
“Indonesia bisa menjembatani kolaborasi untuk transfer knowledge, dan transfer technology, sebab dampak dari perubahan iklim yang mengakibatkan krisis air akan rentan dirasakan oleh negara-negara miskin, sementara kapasitas pengetahuan dan teknologi negara-negara tersebut masih belum mumpuni untuk memitigasi dampak perubahan iklim,” tutupnya. (Aji)