Kredit UMKM Belum Tumbuh Optimal

Peluang News, Jakarta – Chief Economist Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan fungsi intermediasi perbankan di Tanah Air pada tahun 2024 belum berjalan optimal. Penyebab utamanya adalah karena penyaluran  kredit ke sektor UMKM belum tumbuh signifikan.

“Jika kita lihat dari posisi pembiayaan yang disalurkan, kredit perbankan memang tumbuh dua digit. Tetapi pertumbuhannya terutama ditopang oleh kredit korporasi. Sedangkan kredit UMKM khususnya mikro dan menengah praktis tidak tumbuh,” ujarnya kepada Peluang, akhir pekan ini.

Pertumbuhan kredit korporasi yang tinggi pun, tumbuh sekitar 14%, praktis terjadi pada sektor-sektor ekonomi yang relatif rendah support-nya terhadap penciptaan lapangan kerja. Ini mengingat, pertumbuhan kredit perbankan pada sektor pertanian, manufaktur dan perdagangan masih relatif terbatas.

Dengan kondisi itu, menurut dia fungsi intermediasi perbankan di Indonesia sesungguhnya belum berjalan maksimal. Terlebih, ternyata kenaikan Loan to Deposit Ratio (LDR) tersebut sebenarnya dipengaruhi pula oleh rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga, khususnya DPK dari deposan perseorangan.

“Posisi LDR perbankan memang mengalami kenaikan selama tahun 2024. Tetapi, kalau dibandingkan dengan posisi LDR tahun 2019, yaitu sebelum pandemi, levelnya masih jauh,” ujarnya.

Situasi itulah yang menyebabkan NPL kredit UMKM relatif tinggi saat ini.

Sunarsip mengungkapkan pertumbuhan kredit UMKM praktis baru terjadi sejak September 2024.

Di sisi lain, dia juga mencermati masih rendahnya kemampuan bank dalam mengumpulkan Dana Pihak Ketiga, khususnya deposan perorangan. “Sampai dengan September 2024 hanya tumbuh 1 persen (yoy).”

Menurut dia, kondisi tersebut sesungguhnya mengkonfirmasi terjadinya penurunan daya beli di masyarakat saat ini.

Sunarsip juga mencermati bahwa pertumbuhan kredit untuk modal kerja (KMK) juga rendah. Kredit yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi adalah kredit investasi dan kredit konsumsi. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dunia usaha untuk modal kerja belum dapat didukung oleh perbankan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena perbankan pun melihat bahwa proses recovery dunia usaha masih lambat, sehingga berpotensi meningkatkan risiko kredit.

Penulis: Hybrida SakinaEditor: drp
Exit mobile version