Penghapusan kredit macet UMKM @Rp500 juta menunggu kajian Kemenkeu. Langkah ini tak perlu kebijakan fiskal tambahan karena penghapusan dengan plafon tersebut menyasar KUR.
KREDIT macet bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak bencana gempa bumi pada 2006 dan covid-19 diusulkan dihapuskan. Menteri Koperasi UMKM, Teten Masduki, menyampaikan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Kamis (23/11). Dirinci, total terdapat 170.572 debitur dengan akumulasi outstanding kredit Rp10,96 triliun.
Sebanyak 11 debitur dari angka tersebut terdampak bencana gempa 2006 dengan total outstanding Rp30,21 miliar. Ini berpotensi untuk dihapustagihkan. Sedangkan 170.561 debitur pelaku UMKM yang terdampak covid-19 dengan total outstanding Rp10,93 triliun.
Rencana tindak lanjut kebijakan itu sedang dibahas rancangan PP untuk pelaksanaan penghapusan kredit yang Rp500 juta ke bawah di Kemenkeu. Hapus tagih yang dimaksud adalah kredit sampai dengan maksimum Rp500 juta. “Itu nilai tertinggi dari KUR yang telah dilakukan restrukturisasi kredit dan penagihan optimal untuk non-KUR dan non-subrogasi khusus untuk bank dan LKNB BUMN sesuai dengan UU P2SK,” ucap Teten.
Langkah penghapusan ini tak perlu kebijakan fiskal tambahan karena penghapusan Rp500 juta menyasar KUR. Bahkan, sebenarnya, KUR macet senilai Rp500 juta itu sudah dihapusbukukan, meski belum dihapustagihkan. Teten menekankan kredit macet tersebut sudah di-cover PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo).
Menurut OJK, praktik hapus buku dan hapus tagih merupakan praktik normal dalam bisnis perbankan. Nasabah UMKM dan bank sama-sama harus memahami risiko dan konsekuensi dari write off ini. Dari sisi finansial, risiko hapus tagih lebih berdampak kepada bank dibandingkan dengan nasabah. Dengan hapus tagih, bank menghapuskan kewajiban debitur sepenuhnya dan tidak melakukan penagihan kembali atas kredit yang sebelumnya telah dihapus buku.
Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Supari menyebut,
kebijakan ini dapat mendorong pelaku UMKM mendapatkan akses pembiayaan untuk kembali mengembangkan usahanya. “Namun hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan moral hazard,” katanya.
Penghapusan kredit macet tersebut hingga mencapai Rp5 miliar. Untuk tahap pertama, yang akan dihapus yang maksimal kredit Rp500 juta, khususnya bagi debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan demikian, Bappenas memprediksi tahun 2024 kredit usaha perbankan hanya akan mencapai 24%.
Hapus buku hanya menghapus catatan dalam neraca bank sementara, tidak menghapus hak tagih bank terhadap kewajiban debitur. “Dengan demikian, ada potensi pendapatan di kemudian hari apabila penagihan berhasil dilakukan, meskipun sudah tidak terdapat dalam neraca bank,” ujar Dirut Bank Permata, Meliza M. Rusli.
Pengamat ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, menilai pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan menghapus kredit macet ini. Perlu dilihat rekam jejak UMKM. Apakah usahanya berjalan atau justru memang sudah mau tutup. ‘Banyak pelaku UMKM yang menyalahgunakan kredit yang diberikan. Antaranya, mencukupi kebutuhan pribadi, alih-alih mengembangkan usaha,” ujar Bhimo.
Makanya, menjadi layak dipersoalkan, apakah pemerintah memiliki database terkait UMKM yang ada di Indonesia. Hal ini penting untuk melihat potensi UMKM dan mengindari potensi kredit macet di kemudian hari. Selain itu ada pengawasan untuk melihat progres UMKM yang dihapus kredit macetnya selama dua sampai tiga tahun ke depan.
“Dalam perspektif saya, hal tersebut malah memunculkan moral hazard. UMKM yang mengalami kredit macet cenderung tidak ada effort untuk perbaikan kinerja dan tidak waspada terhadap risiko kredit macet di UMKM yang dikelola,” ujarnya.●