
Peluang News, Jakarta – Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengungkapkan, tim penyidik telah melayangkan surat panggilan kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 dengan tersangka Harun Masiku.
“Tim Penyidik KPK menjadwalkan pemanggilan Pak Hasto Kristiyanto untuk hadir hari Senin, 10 Juni 2024 sekitar pukul 10.00 WIB dan tentu sudah dikirim,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Ali berharap Hasto bisa memenuhi panggilan tersebut untuk kelancaran proses penyidikan dan pencarian terhadap Harun Masiku.
“Kami berharap yang bersangkutan bisa hadir, sehingga bisa menjelaskan apa yang nanti akan dibutuhkan keterangannya oleh Tim Penyidik KPK,” kata dia.
Sebagai catatan, Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 di Komisi Pemulihan Umum (KPU).
Namun, tersangka Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.
Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah anggota KPU periode 2017-2022 yakni Wahyu Setiawan.
Wahyu kini berstatus terpidana. Saat ini ia tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.
Wahyu Setiawan dipenjara berdasarkan Putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 juncto putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo. putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terpidana Wahyu juga dibebani kewajiban membayar denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Ia juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam jabatan publik selama 5 tahun, terhitung setelah berakhirnya menjalani pidana pokok.[]