hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Koperasi Tambang dan Ujian Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam

Koperasi Tambang dan Ujian Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam
Koperasi Tambang dan Ujian Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam/dok.imutambang

Koperasi Tambang dan Ujian Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam

PeluangNews, Jakarta – Ketika pemerintah membuka peluang bagi koperasi untuk mengelola izin tambang mineral dan batubara, publik sontak terbelah antara harapan dan kekhawatiran. Bagi sebagian kalangan, langkah ini dipandang sebagai koreksi atas sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam yang selama ini dikuasai segelintir korporasi besar. Namun bagi yang lain, kebijakan ini justru berpotensi melahirkan bentuk baru dari kapitalisme berbaju rakyat.

“Kalau tidak dikawal, koperasi bisa saja dijadikan topeng baru oleh para pemodal dan elite politik. Kita sudah terlalu sering melihat praktik semacam itu,” ujar Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), kepada Peluangnews.id, Senin (20/10/2025)

Luka Lama dari Industri Tambang

Sejarah pertambangan di Indonesia lebih banyak menyisakan luka ketimbang kesejahteraan. Di banyak daerah, tambang meninggalkan jejak kerusakan lingkungan, konflik sosial, bahkan kematian.
Negara pun kerap tampak kalah di hadapan kuasa korporasi. Aparat menjaga operasi perusahaan tambang, sementara warga yang menolak justru dicap penghambat pembangunan.

“Kita lihat kasus Kendeng, di mana putusan pengadilan yang memenangkan rakyat malah diabaikan,” kata Suroto.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi rakyat di hadapan sistem ekonomi ekstraktif yang sudah berurat-akar. Karena itu, munculnya kebijakan baru yang memberi ruang bagi koperasi rakyat untuk mengelola sumber daya tambang dianggap sebagian pihak sebagai momentum untuk memperbaiki arah pembangunan nasional.

Kebijakan Baru: Koreksi atau Kamuflase?

Melalui PP Nomor 39 Tahun 2025, pemerintah memperbolehkan koperasi memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas maksimal 2.500 hektare. Menteri Investasi dan Menteri Koperasi menyebut kebijakan ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap ekonomi rakyat.
Secara ideologis, arah kebijakan tersebut sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun Suroto mengingatkan, “Kita perlu realistis. Jangan sampai kebijakan yang kelihatannya pro-rakyat justru membuka ruang baru bagi praktik perizinan gelap dan monopoli tambang. Koperasi sejati itu berbasis anggota, bukan perusahaan berbaju rakyat.”

Ia menegaskan bahwa sebelum kebijakan dijalankan, negara harus memastikan tiga hal mendasar: kapasitas koperasi, kerangka pengawasan, dan jaminan lingkungan hidup. Tanpa itu, koperasi tambang hanya akan menjadi korban permainan para broker izin.

Belajar dari Model Komunitas di Luar Negeri

Beberapa negara maju memberikan contoh berbeda. Di Kanada dan Amerika Utara, misalnya, komunitas adat dan koperasi lokal berhasil mengelola tambang secara berkelanjutan melalui model kemitraan komunitas. Pemerintah memberikan ruang bagi kepemilikan saham masyarakat lokal, disertai kewajiban transparansi dan kompensasi sosial.

“Kuncinya ada pada tata kelola yang transparan dan akuntabel. Pemerintah kita harus belajar dari sana — jangan sampai koperasi hanya jadi nama di atas kertas,” kata Suroto.

Risiko Lingkungan: Ancaman yang Tak Pernah Hilang

Sekecil apa pun skalanya, tambang selalu membawa dampak ekologis serius. Di Kalimantan Timur, puluhan anak meninggal karena tenggelam di lubang tambang batubara yang dibiarkan terbuka. Di Bangka Belitung, penambangan timah rakyat tanpa reklamasi merusak hutan bakau dan pesisir.

“Koperasi tidak boleh menjadi pembenaran untuk menggantikan korporasi dengan rakyat yang melakukan hal serupa. Justru karena ini entitas rakyat, standar etikanya harus lebih tinggi,” tegas Suroto.

Dekolonisasi Ekonomi dan Jalan Menuju Kedaulatan

Masalah tambang tak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi politik global. Sistem kapitalisme ekstraktif telah lama menjerat negara berkembang melalui investasi dan utang. Dalam konteks ini, pemberian izin tambang kepada koperasi seharusnya dimaknai sebagai strategi dekolonisasi ekonomi, bukan sekadar kebijakan ekonomi populis.

“Kalau benar dijalankan dengan semangat kedaulatan rakyat, koperasi tambang bisa menjadi benteng melawan kapitalisme ekstraktif,” ujar Suroto. “Tapi kalau koperasi dijadikan kendaraan politik atau boneka pengusaha nasional yang berkolusi dengan modal asing, maka semuanya akan sia-sia.”

Jalan Pembenahan: Dari Akreditasi hingga Ekonomi Hijau

Untuk menghindari jebakan lama, Suroto mengusulkan beberapa langkah strategis:

  1. Sistem akreditasi koperasi tambang. Hanya koperasi yang benar-benar beranggotakan masyarakat lokal dan memiliki tata kelola baik yang boleh mengantongi izin.

  2. Pengawasan partisipatif. Masyarakat sekitar harus dilibatkan langsung dalam pemantauan dampak lingkungan dan keuangan koperasi tambang.

  3. Kewajiban reklamasi dan investasi sosial. Setiap koperasi wajib memiliki rencana pascatambang yang jelas — dari pemulihan lingkungan hingga pemberdayaan ekonomi alternatif.

  4. Netralitas politik. Koperasi tambang harus dijauhkan dari kepentingan partai dan elite menjelang tahun politik.

  5. Integrasi ekonomi hijau. Koperasi sebaiknya difokuskan pada pengelolaan mineral strategis yang mendukung transisi energi bersih.

Menambang dengan Nurani Rakyat

Mengelola tambang melalui koperasi bukan hal mustahil, asalkan negara berani keluar dari paradigma lama yang memandang tambang hanya sebagai sumber pendapatan cepat. Koperasi tambang seharusnya menjadi sarana memperkuat ekonomi lokal dan memperluas kepemilikan rakyat atas sumber daya alam.

“Tambang itu bukan sekadar soal produksi, tapi soal moralitas pembangunan,” ujar Suroto menegaskan. “Kalau koperasi tetap setia pada nilai dasarnya—kedaulatan rakyat, solidaritas sosial, dan tanggung jawab ekologis—maka ia bisa membawa keadilan dari perut bumi. Tapi kalau tidak, ia hanya akan menjadi bab baru dari drama lama: rakyat tetap korban, bumi terus dikuras tanpa ampun.” (Aji)

pasang iklan di sini