
PeluangNews, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto baru saja menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No. 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP). Regulasi ini melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2025 yang mengatur percepatan pembentukan kelembagaan Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia.
Dalam Inpres terbaru tersebut, PT Agrinas Pangan Nusantara, BUMN di bawah holding pangan negara, ditunjuk sebagai pelaksana proyek pembangunan fisik koperasi di desa-desa. Pemerintah menyiapkan dana Rp16 triliun yang bersumber dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) untuk mendukung target pembangunan sekitar 5.000 koperasi hingga akhir tahun ini. Menurut Menteri Koperasi, jumlah itu akan terus ditingkatkan menjadi 80.000 koperasi desa dalam beberapa tahun mendatang.
Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah membangun fondasi ekonomi rakyat. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa program berskala besar tersebut akan mengulang pola lama—top-down, birokratis, dan minim partisipasi rakyat.
“Koperasi itu milik rakyat, bukan proyek pemerintah. Kalau pembangunan fisiknya saja yang digarap tanpa menumbuhkan partisipasi masyarakat, maka itu bukan koperasi, tapi sekadar bangunan,” ujar Suroto, Ketua AKSES sekaligus CEO INKUR, Senin (3/11/2025).
Menurut Suroto, membangun koperasi desa bukan semata soal infrastruktur, tetapi menumbuhkan jiwa kolektif dan kesadaran kemandirian ekonomi rakyat. Ia mencontohkan bagaimana Gerakan Saemaul Undong di Korea Selatan pada 1970-an berhasil mengubah wajah pedesaan tanpa dominasi negara atau BUMN.
“Presiden Park Chung-hee saat itu tidak menyiapkan dana triliunan. Ia hanya memberi bantuan awal berupa semen dan baja. Selebihnya, masyarakat desa bekerja bersama, saling bantu, dan berinovasi. Pemerintah hanya memfasilitasi,” tutur Suroto.
Dalam waktu satu dekade, ribuan desa miskin di Korea berubah menjadi desa modern dan produktif. Koperasi tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat. Saemaul Undong pun berkembang menjadi gerakan sosial nasional yang menanamkan etos kerja keras, disiplin, dan solidaritas, hingga melahirkan fondasi industrialisasi Korea Selatan.
Dari desa, lahir semangat jaju (kemandirian), jalip (percaya diri), dan jagang (gotong royong) yang menjelma menjadi kekuatan bangsa Korea di berbagai bidang—mulai dari ekonomi, teknologi, hingga budaya. Gelombang Korean Wave dan dominasi K-Pop hari ini, menurut Suroto, sejatinya berakar dari nilai-nilai kolektif yang dibangun melalui Saemaul Undong.
Indonesia, kata Suroto, seharusnya belajar dari pengalaman itu. Gerakan Koperasi Desa Merah Putih mestinya tidak dikuasai oleh BUMN atau kontraktor pusat, tetapi dikelola dengan model partisipatif berbasis masyarakat desa. Pemerintah cukup menjadi fasilitator dan katalis, bukan pengendali penuh proyek.
“Kalau rakyat hanya dijadikan penonton, maka koperasi desa tidak akan pernah menjadi gerakan ekonomi rakyat. Tapi jika rakyat diberdayakan sejak awal, koperasi bisa menjadi pusat energi ekonomi baru yang membangkitkan desa,” tegasnya.
Suroto mengingatkan, tanpa pelibatan masyarakat, Rp16 triliun yang digelontorkan hanya akan menghasilkan deretan bangunan kosong tanpa jiwa. Namun jika dikelola dengan prinsip gotong royong dan partisipasi, Koperasi Merah Putih bisa menjadi simbol kebangkitan ekonomi rakyat dan tonggak baru kemandirian nasional. (Aji)






