hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Koperasi Desa Merah Putih, Tantangan, Peluang atau Cuma Kebijakan Sporadis

Koperasi Desa Merah Putih, Tantangan, Peluang atau Cuma Kebijakan Sporadis
Ilustrasi/dok,pinterest

Peluang News, Jakarta – Sebuah diskusi hangat mengemuka di group WhatsApp: Sahabat Pemerhati Koperasi. Tema dipilih adalah menyoal obsesi Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendirikan 70 ribu koperasi di pedesaan di seantero nasional dengan label Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Ide yang terkesan dadakan ini disokong rame-rame oleh para menterinya sehingga terjadi kesibukan ekstra yang sebelumnya tak masuk program kebijakan di kementerian masing-masing. Tentu saja yang paling repot mengelaborasi KDMP adalah Kementerian Koperasi.

Masalahmya, mungkinkah ide besar itu terwujud jika mengacu pada standar pendirian koperasi yang benar, yaitu inisiatif anggota (bottom up), bukannya kehendak dari atas (top-down).

Menurut pegiat koperasi Jawa Barat Adam Yaih gagasan KDMP merupakan keinginan yang baik dari pemerintah dan perlu direspon dengan baik pula. “Bahkan kalau perlu para pemikir koperasi yang ada di grup ini merapat ke pemerintah untuk beri masukan ide yang positif,” ujarnya.

Senada dengan itu, Sekretaris II KSP Bhina Raharja Rembang Jawa Tengah, Arif Darmawan setuju dengan usulan Adam Yaih, namun dia meminta usulan dapat dielaborasi lebih detail, misal bagaimana melibatkan koperasi-koperasi yang sudah ada dan lebih berpengalaman dalam tata kelola. Termasuk penyuluhan terhadap para petinggi di desa untuk memahami bagaimana sistem koperasi bekerja.

Sementara, pegiat koperasi Jawa Timur Mahmud Ali menilai pembentukan KDMP hendaknya dapat belajar dari runtuhnya Koperasi Unit Desa (KUD) akibat pembentukan yang top-down (inisiatif pemerintah). Mahmud yang pernah sukses memimpin BMT UGT Sidogiri mengambil contoh pengalaman Jawa Timur semasa Gubernur Sukarwo yang kala itu menginisiasi pendirian koperasi di tiap desa, bahkan setiap desa dapat dana Rp25 juta bantuan APBD. Nyatanya ketika jabatan Sukarwo selesai gagasan koperasi desa itu juga ikut tamat, dananya menguap begitu saja.

“Dulu pak Harto menggagas KUD dan mampu bertahan 30 tahun, tetapi ketika Pak Harto jatuh, KUD juga ikut jatuh karena tidak dibentuk berdasar kebutuhan anggota,” ujar Mahmud. Menurutnya, penguatan koperasi perlu tapi bukan gelontorkan dana APBN untuk mendirikan koperasi baru, ingat jabatan presiden hanya 5 tahun.

Menanggapi Mahmud Ali, Mohammad Fatoni dari Puskud Jatim meminta pemerintah tidak menutup mata terhadap keberadaan KUD yang masih eksis. “Kita harus pro aktif memberikan masukan ke Dinaskop Kabupaten dan Kota. KUD mana yang harus direvitalisasi, dan mana yang perlu diakuisisi. Ini penting karena koperasi keberadannya dijamin UU No 25/1992,” ujarnya.

Pada prinsipnya, dia mendukung program KDMP dengan catatan sinergitas antar lembaga. Sehingga peran KUD, Bumdes dan Kopwan bisa saling menguatkan. Sementara Kepala Desa dan BPD harus taat azas sesuai ketentuan yang ada. Pendapat itu diamini oleh Abiyudun Waruwu, Ketua Koperasi Konsumen Adika Jujur Cemerlang Gunung Sitoli Nias, Sumatera Utara.

Sebagai pegiat koperasi yang lama berkecimpung di pedesaan, menurutnya KDMP yang akan dibentuk di desa bisa mengganggu bahkan menghilangkan identitas dan kemandirian Bumdes yang telah dibangun bertahun tahun..
“Saran saya KDMP harus berkolaborasi dengan Bumdes dan koperasi lainnya yang sudah ada, bekerja sama dan bermitra dalam pengelolaan usaha sehingga citra koperasi makin membaik,” tuturnya.

Sulit Tumbuh Tanpa Sinergitas.

Melihat besaran dana yang bakal digelontorkan pemerintah, manager koperasi pegawai Kemenkumham Bunyamin mengatakan KDMP sebagai badan usaha pasti akan gemuk dan secara struktur organisasi pasti akan memerlukan fix cost yang juga tidak sedikit sementara peningkatan skala usahanya bakal sulit dikembangkan tanpa ada sinergitas dengan pelaku usaha lain. “Mungkin kecepatan pengembangan usaha bisa kalah bahkan dengan usaha perorangan,” ujar Alumni Ikopin ini.

Dia tambahkan, mengacu pada pengalaman yang sudah ada dengan pola top-down, selama keberpihakan dari penguasa usahanya mungkin bisa jalan, walaupun mungkin ruh dan jati diri koperasinya tidak inline dengan perjalanan usahanya, perlu waktu untuk anggota bisa muncul kebutuhan atau rasa memiliki terhadap koperasinya.

Bahkan, sambung Bunyamin lagi, dengam kebijakan politis yang ada, tak tertutup kemungkinan adanya “Koperasi Merpati,” koperasi yang muncul ketika ada proyek bantuan pemerintah. Istilah “Merpati” merujuk pada burung yamg datang pada saat ada makanan, dam ketika makanan habis, merpati terbang entah kemana.

“Ini juga mungkin suatu hal yang perlu diantisipasi dalam program KDMP. Agar sejarah tidak berulang dan justru akan menambah rekam jejak yang kurang bagus bagi koperasi itu sendiri,” pungkas Bunyamin.

Pada sesi akhir diskusi via WA itu, peserta sepakat ide KDMP positif. Inisiatif yang menggembirakan karena pemerintah masih mau dan meyakini koperasi bisa menjadi roda penggerak ekonomi bangsa sesuai dengan konstitusi. (Irm)

pasang iklan di sini