
PeluangNews, Jakarta – Di tengah dorongan besar Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat, program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) muncul sebagai andalan baru. Ambisinya terlihat dari target pembentukan KDMP dari semula hanya 70 ribu dalam tempo beberapa hari naik menjadi 80 ribu unit KDMP yang akan dibentuk dalam satu tahun. Namun sejumlah analis dan pengamat menilai, proyek yang kini memasuki tahap uji coba ini masih kabur dari sisi roadmap, belum teruji secara kelembagaan, dan menyimpan risiko tinggi jika dijalankan secara terburu-buru.
Dukungan datang dari Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, yang menyatakan bahwa program KDMP berpotensi memperoleh pembiayaan dari institusi keuangan, termasuk perbankan. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut telah menyisihkan dana desa hingga Rp70 triliun untuk menopang program tersebut—termasuk sebagai penyangga apabila koperasi desa gagal bayar.
Namun pernyataan itu menuai kritik. Beberapa kalangan menilai optimisme yang ditampilkan dua pejabat tinggi negara tersebut lebih bersifat retoris daripada realistis. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai pejabat ABS (Asal Bapak Senang)
“Tanpa roadmap, tanpa studi kelayakan yang terbuka, belum ada satu pun kisah sukses, lalu sudah bicara pembiayaan bank dan skema bail-out. Ini lebih terlihat sebagai upaya menyenangkan Presiden ketimbang solusi ekonomi berbasis data,” ujar seorang pengamat kebijakan publik yang enggan disebutkan namanya.
Risiko-Risiko yang Luput Diperhitungkan
Dalam tinjauan berbasis analisis risiko kelembagaan, terdapat setidaknya lima jenis risiko yang patut menjadi perhatian dalam pelaksanaan program KDMP:
1. Risiko Strategis
Roadmap program belum diumumkan secara terbuka. Tidak ada blueprint yang menunjukkan target, tahapan, indikator keberhasilan, dan strategi keluar jika program tidak berjalan sesuai rencana. Program ini ibarat penjaja yang melantunkan dagangannya dengan kalimat yang hit “Tahu bulat Digoreng dadakan lima ratusan..uhuyy”
2. Risiko Tata Kelola
Hingga kini belum jelas struktur pengelola KDMP di lapangan. Siapa yang mengawasi? Bagaimana mekanisme pelaporan dan pertanggungjawabannya? Potensi konflik kepentingan di tingkat desa sangat tinggi.
3. Risiko Operasional
Sumber daya manusia (SDM) koperasi desa masih sangat beragam dari sisi kapasitas. Belum ada sistem digitalisasi terpusat untuk monitoring dan pelaporan. Kegagalan sistem atau kesalahan administrasi bisa merugikan ribuan anggota.
4. Risiko Keuangan
Skema pembiayaan belum didasarkan pada uji kelayakan koperasi secara mikro. Jika pembiayaan tetap dipaksakan, risiko gagal bayar tinggi. Ketergantungan pada dana desa sebagai penopang juga menimbulkan moral hazard.
5. Risiko Politik dan Reputasi
Dengan ekspos media dan narasi besar dari elit politik, KDMP bisa terjebak menjadi proyek pencitraan menjelang tahun politik. Jika gagal, kepercayaan publik terhadap koperasi justru akan merosot.
Dana Triliunan, Hasil Belum Pasti
Komitmen Rp70 triliun dana desa yang disebut Menkeu Sri Mulyani dinilai terlalu prematur. Belum ada kejelasan bagaimana dana tersebut dikelola, apakah berbentuk pinjaman modal, subsidi, atau simpanan. Lebih dari itu, risiko fiskal mengintai jika dana tersebut digunakan sebagai bail-out saat koperasi gagal bayar.
“Kalau kita pakai dana publik (APBN) sebesar itu tanpa baseline evaluasi dan mekanisme kontrol yang jelas, itu bisa jadi bumerang fiskal,” ucap analis keuangan saat berdiskusi dengan peluangnews.id
Sementara itu, lembaga keuangan seperti perbankan yang disebut-sebut siap menyalurkan pembiayaan juga belum memaparkan skema penilaian risiko. Tanpa sistem credit scoring mikro atau sistem audit koperasi desa yang andal, pembiayaan hanya akan menjadi beban di kemudian hari.
Transparansi dan Uji Coba Terbuka Jadi Kunci
Para pengamat menyarankan agar pemerintah mengedepankan transparansi penuh dalam uji coba Koperasi Desa Merah Putih, termasuk membuka data percontohan, metode rekrutmen, dan indikator keberhasilan. Evaluasi independen juga mutlak diperlukan sebelum program diperluas secara nasional.
“Jangan terjebak pada proyek mercusuar. Tanpa kehati-hatian, kita bisa menciptakan raksasa koperasi yang rapuh dari dalam,” tutur seorang mantan pejabat koperasi nasional.
Memang, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi tonggak ekonomi rakyat. Namun jika digagas dengan pendekatan retoris tanpa kesiapan kelembagaan, sistem akuntabilitas, dan mitigasi risiko, proyek ini justru bisa menjadi kasus kegagalan nasional berikutnya. Yang dibutuhkan kini bukan semata semangat, melainkan rencana matang dan sistem pengawasan yang konkret. (Aji)