Kontroversi tajam atas pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) memasuki babak baru pasca Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Lembaga kekuasaan kehakiman tersebut secara tidak langsung terlibat dalam penentuan legalitas Undang-Undang Ciptaker, apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan prinsip demokrasi.
Amar putusan yang dijatuhkan ialah bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun. Ratio decidendi yang mendasarinya ialah aspek formil berupa ketidakcukupan prasyarat partisipasi publik dan penggunaan metode omnibus yang belum disahkan secara legal prosedural.
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislator dengan menangguhkan keberlakuan UU Ciptaker dinilai telah merusak konsep besar kebijakan akselerasi investasi yang telah dijalankan sebelumnya. Respon terhadap putusan tersebut langsung digagas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan merevisi UU No 15/2019 tentang Perubahan atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Salah satu batu sandungan berupa penggunaan metode omnibus yang tidak sah secara legal formil dijawab langsung dengan pengadopsian metode tersebut melalui perubahan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tentu saja reaksi legislasi seperti itu belum serta merta dapat mencabut pembekuan hukum terhadap UU Cipta Kerja.
Bola panas status hukum UU Cipta Kerja mencapai klimaks pada penghujung tahun 2022 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Politik hukum demikian merupakan kartu truf bagi Presiden agar dapat mencabut status pembekuan UU Ciptaker secara cepat.
Argumentasi yang digunakan dalam memenuhi klausula kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 yaitu implikasi konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina, serta adanya ancaman inflasi dan stagflasi terhadap perekonomian.
Penerbitan Perpu Ciptaker oleh Presiden per 30 Desember 2022 hanya memberikan jalan keluar yang semu. Satu sisi benar bahwa pembaruan dengan Perpu mencabut status inkonstitusional bersyarat pada UU Ciptaker sekaligus membuat kebijakan strategis yang menyertainya dapat diterbitkan.
Akan tetapi, cara tersebut sama sekali tidak menjawab amar Mahkamah Konstitusi yang menyaratkan adanya demokrasi deleberatif berupa penyerapan partisipasi secara bermakna dari rakyat dalam perbaikan UU Ciptaker.
Keputusan Presiden untuk menerbitkan Perpu Ciptaker di penghujung tahun 2022 bisa pula menjadi oase untuk mengukur betapa rentannya kepastian hukum terhadap undang-undang di Indonesia. Alasannya karena terdapat tiga lembaga negara yang dilengkapi kewenangan konstitusional untuk mengubah produk legislasi. DPR dapat menggunakan kewenangan legislasinya sebagaimana atribusi Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945.
Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi pun mempunyai kewenangan membatalkan UU. Presiden, di saat yang bersamaan juga dilengkapi kewenangan untuk mengubah nasib UU melalui penerbitan Perpu dengan dalil kegentingan yang memaksa.
UU Ciptaker pada akhirnya menjadi korban yang kehilangan unsur kepastian hukumnya akibat ketiga kewenangan lembaga negara yang dapat mempengaruhi undang-undang digunakan secara bersamaan. UU tersebut awalnya memiliki status hukum sah dan berlaku, kemudian dibekukan keberlakuannya hingga dinyatakan berlaku kembali akibat penerbitan Perpu.
Turbulensi demikian menjadi konsekuensi logis dari konstruksi sistem legislasi di Indonesia yang berdiri pada tiga kaki. Kartu truf yang dikeluarkan Presiden sebagai penutup tahun 2022 bukan akhir dari segalanya, mengingat masih dapat dianulir bilamana tidak disetujui DPR atau kembali dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui pengujian Perpu terhadap UUD NRI 1945.