Sejak 2004, status kita sebagai negara produsen minyak bumi berubah jadi net importer. Laju konsumsi terus meningkat, sedangkan produksi makin menciut. Gas lalu tampil menjadi tumpuan harapan baru, setidaknya hingga tahun 2050.
MINYAK dan gas bumi (migas) merupakan salah satu kekayaan alam yang penting bagi kesejahteraan sebuah bangsa. Indonesia mengalami kelimpahruahan rezeki dari perut bumi itu di masa lalu. Medio 1970-1990 merupakan masa jaya sektor migas. Pada periode tersebut, sebagaimana dicatat Reforminer Institute, sektor migas pernah menyumbang hingga 63 persen penerimaan negara.
Puluhan tahun kemudian, kondisi berubah drastis. Cadangan energi tak terbarukan itu kian menipis dan cekak. Tren sektor migas justru membuat bangsa ini harap-harap cemas. Ibarat lari maraton, angka konsumsi migas sprint meninggalkan angka produksi. Mengacu data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ( SKK Migas), konsumsi minyak bumi Indonesia pada 2015 adalah 1,592 juta barel per hari (bph) dan pada 2016 naik jadi 1,615 juta bph.
Di sisi lain, jumlah produksi relatif stagnan. Pada 2015, produksi minyak bumi hanya 786.000 bph dan pada 2016 sebesar 831.000 bph. Untuk menutupi kesenjangan itu, Indonesia yang bekas anggota OPEC berstatus sebagai pengimpor murni (net importer) sejak 2004. Proyeksi selanjutnya, yang sulit disangkal, kebutuhan konsumsi minyak bumi bakal semakin banyak.
Dewan Energi Nasional (2016) memprediksi, kebutuhan itu mencapai 1,93 juta bph pada 2025. Beruntung bahwa kondisi gas bumi lebih baik dibanding minyak bumi. Paling tidak, saat ini Indonesia bukanlah net importer gas. Meski begitu, perlu diwaspadai tren pemakaian gas dari tahun ke tahun. Produksinya cenderung menurun dari waktu ke waktu. Produksi gas pada 2011 sebesar 7.380 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), per 2016 merosot jadi 6.630 juta MMSCFD.
Pada saat bersamaan, konsumsi setiap tahunnya meningkat, mencapai 3.850 MMSCFD pada 2016 lalu. Mencermati fakta dan angka-angka di atas, tidak berlebihan bila disebut Indonesia terancam krisis migas (energi). Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa menemukan alternatif jawaban, era menikmati kekayaan migas tengah memasuki babak akhir.
Terkait potensi tersebut, SKK Migas berupaya maksimal meningkatkan produksi migas dalam beberapa waktu terakhir. Misalnya, mendorong investasi di sektor hulu migas. Dengan begitu, diharapkan angka produksi migas dapat kembali bergairah. Menurut Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi, investasi amatlah krusial mengingat migas bakal menjadi penopang utama kebutuhan energi Indonesia hingga tahun 2050.
Selain untuk mendapatkan cadangan baru migas melalui kegiatan eksplorasi, kata Amien, investasi diperlukan pula untuk mendanai enhanced oil recovery (EOR). EOR adalah metode pengurasan sumur memakai air, gas, atau bahan kimia, untuk mengoptimalkan laju produksi minyak di lapangan-lapangan tua.
“Kami yakin, industri migas akan tetap eksis di Indonesia karena permintaan global yang terus meningkat. Industri menghadapi tantangan yang memaksa kita semua untuk menjadi kreatif dan inovatif dalam melakukan efisiensi untuk meningkatkan daya saing,” ujar Amien Sunaryadi. Dengan langkah ekspansif yang diambil, moga industri migas Indonesia mengulang masa jayanya—jika utopis berharap dari minyak bumi, tanpa penemuan sumur-sumur baru.●