Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)
PeluangNews, Jakarta-Pemerintah melalui Menteri Keuangan baru saja mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penempatan dana dari sumber Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 200 triliun rupiah ke Bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Dana yang sangat besar untuk membantu likuiditas bank untuk tujuan mendorong ekspansi kredit perbankan dan terutama Bank BUMN. Pertanyaanya, akankah dana ini mampu mendorong usaha mikro dan kecil yang merupakan statistik pelaku usaha rakyat paling banyak, ataukah justru sebaliknya? Memperkuat usaha konglomerat?.
Sudah sejak lama kita mendengar jargon UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) adalah tulang punggung perekonomian nasional. Data Kementerian UMKM terakhir tahun 2024 mencatat bahwa dari sekitar 64,5 juta pelaku usaha atau 99,6 persen di antaranya adalah usaha mikro dan kecil. Sementara 180 ribu atau 0,35 persen usaha kecil. Kemudian 0,05 persen usaha menengah, dan hanya 0,0006 persen atau sekitar 5.600 entitas yang bisa dikategorikan sebagai usaha besar.
Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2024 yaitu 61,07 persen dari 22.139 trilyun rupiah. UMKM juga menyerap tenaga kerja hingga 97 persen dari total tenaga kerja nasional, yaitu sekitar 117 juta orang.
Namun, ketika ditelusuri kontribusinya terhadap PDB, fakta yang muncul justru memprihatinkan. Usaha mikro dan kecil yang jumlahnya 99,6 persen pelaku usaha rakyat itu hanya menyumbang sekitar 18 persen dari PDB. Sementara 82 persen kue ekonomi nasional dikuasai oleh segelintir usaha besar dan menengah yang notabene adalah kepanjangan tangan pengusaha konglomerasi.
Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah memiliki aturan porsi kredit minimal untuk UMKM. Regulasinya dari sejak 2018 minimal rasio kredit perbankan hanya sebesar 20 persen untuk UMKM.
Realisasinya selama 5 tahun terakhir hanya kurang lebih sebesar 20 persen dari total rasio kredit perbankan sebagai pemenuhan syarat formalitas.
Dari angka tersebut, untuk usaha mikro dan kecil hanya sekitar 9 persen. Sisanya untuk usaha menengah yang kebanyakan perusahaan kepanjangan tangan usaha besar. Bandingkan misalnya dengan Korea Selatan yang porsinya hingga kurang lebih 50 an persen per tahun hanya untuk usaha kecil.
Untuk itu pun sebagian besar kredit kepada UMKM berbentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disubsidi bunga oleh negara. Artinya, tanpa subsidi negara, porsi pembiayaan ke sektor mikro kemungkinan jauh lebih rendah. Serapan KUR pun mentok di sekitar Rp 250 an triliun per tahun, angka yang stagnan beberapa tahun terakhir.
Dengan fakta ini, sulit berharap kucuran dana SAL ke bank BUMN akan secara otomatis bertransformasi menjadi kredit produktif untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Lebih mungkin dana tersebut akan diarahkan ke proyek-proyek besar berskala nasional seperti pembiayaan ekspansi sawit, tambang nikel, atau proyek infrastruktur yang cenderung menumpuk pada kelompok usaha besar. Padahal SAL adalah uang hasil pajak dari rakyat.
Artinya, strategi menyalurkan dana SAL hanya lewat bank sudah pasti hanya akan meningkatan kesenjangan sosial ekonomi. Segelintir elite konglomerat akan semakin kaya dan kuat, sementara rakyat banyak hanya akan jadi penonton.
Secara politik ini akan berakibat pada munculnya ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah.
Untuk itu, agar Dana Penempatan pemerintah tersebut juga dapat memperkuat basis ekonomi rakyat, maka diperlukan beberapa kebijakan penting sebagai berikut :
Pertama, perlu ada kewajiban imperatif bagi perbankan untuk menyalurkan minimal 50 persen dari total portofolio kredit ke sektor UMKM, dengan porsi lebih besar untuk usaha mikro dan kecil. Aturan ini tidak cukup hanya berbentuk insentif, tetapi harus ada sanksi tegas dan kuat bagi bank yang gagal mencapainya.
Kedua, subsidi bunga seperti kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) harus disertai evaluasi ketat. Jangan biarkan subsidi ini justru menjadi sumber rente bagi bank tanpa memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan pelaku usaha. Sebab program KUR ini diberikan hingga plafon 500 juta yang seharusnya sudah dapat mengakses pinjaman komersial. Lebih parahnya lagi, pemegang kartu kreditpun dapat mengakses KUR ini.
Ketiga, membangun ekosistem usaha rakyat. Kredit hanya akan produktif jika ada pasar. Pemerintah harus memperkuat kebijakan belanja pemerintah yang berpihak pada produk UMKM (local content policy), memberi perlindungan bagi ritel tradisional, dan memastikan harga komoditas rakyat stabil.
Keempat, mendorong lahirnya bank komunitas atau bank koperasi yang benar-benar fokus membiayai ekonomi rakyat agar tidak terjebak semuanya ke dalam sistem monokultur perbankkan. Berikan perlakuan yang sama terhadap model lembaga keuangan koperasi. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini bank dapat begitu banyak fasilitas negara namun tidak untuk koperasi. Sebut saja misalnya subsidi bunga, subsidi imbal jasa penjaminan, penyertaan modal negara dan bahkan ssmacam Dana Penempatan dari sumber SAL.
Kelima, reformasi data dan klasifikasi pelaku usaha. Sudah saatnya kita tidak lagi menyatukan usaha mikro, kecil, dan menengah dalam satu kategori “UMKM” yang menyesatkan. Data yang rinci akan membantu perumusan kebijakan yang tepat sasaran.
Membangun komitmen kredit untuk UMKM tidak bisa lagi sekadar jargon. Tantangannya bukan hanya soal ketersediaan dana, tetapi soal keberpihakan politik dan keberanian mereformasi struktur ekonomi yang timpang. Selama 99,6 persen pelaku usaha rakyat hanya menguasai 18 persen kue ekonomi, maka pembangunan akan terus menciptakan ketimpangan baru.
Dana SAL yang digelontorkan ke bank BUMN seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah kebijakan. Negara akan terus menjadi pelayan konglomerasi, atau benar-benar berpihak pada rakyat. Pertanyaannya kini bukan lagi soal bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak.