Tekanan begitu kuat ketika Gusdur hendak membubarkan Departemen Koperasi menyusul dua departemen lainnya yang sudah lebih dulu bubar, Penerangan dan Sosial. Menurut Gusdur, presiden yang dikenal nyleneh itu, urusan penerangan, sosial dan koperasi diserahkan saja ke ranah publik. Tetapi ia urung membubarkan Departemen Koperasi lantaran kuatnya permintaan bahwa koperasi masih perlu dibina pemerintah.
Sebaliknya, kritisi Gusdur, koperasi justru sulit menyejajarkan sosoknya sebagai badan usaha, lantaran kentalnya campur tangan pemerintah. Sebagai badan usaha, koperasi harusnya bergerak di ranah komersial. Maka, kritik Gusdur lagi, koperasi jangan melulu dininabobokan dengan konotasi ‘sosial’. Sebagai badan usaha komersial, koperasi juga tidak pantas menunggu bantuan dan fasilitas murah pemerintah.
Di negeri asalnya, Inggris, ide koperasi lahir di tengah gemuruh mesin industri kaum kapitalis. Menyeruak di tengah para buruh miskin, yang hak-hak ekonomi mereka terampas oleh maruknya para penyembah harta dan kuasa. Tetapi kesadaran membangun usaha kolektif itu tidak muncul dari lorong gelap dan kumuh para pekerja kelas bawah. Koperasi justru lahir top-down, di tengah selera ‘humor’ kaum kapitalis.
Robert Owen mungkin salah satu dari sosok sang kapitalis yang humoris itu. Kita sebut ia lucu lantaran idenya yang aneh tentang harta. Dalam credo kapitalis, posisi harta ditempatkan sebagai yang tertinggi, kekayaan untuk kepuasan individu. Tetapi bagi Owen, juragan pabrik tenun pertama di Manchester, Inggris itu, ia merasa punya salah besar jika membiarkan kesengsaraan para buruh pabrik oleh eksploitasi upah rendah dan jam kerja tak manusiawi.
Ia menghapus ketimpangan itu dengan sistem kerja yang tidak melulu mengeruk untung. Ia bangkitkan kesadaran hak-hak buruh untuk hidup dan diperlakukana lebih layak. Owen tidak asal ngomong.
Ia buktikan pemberdayaan itu dengan pengurangan jam kerja, menaikan upah, dan hak pendidikan bagi keluarga buruh. Kata Owen, hanya dengan cara berkoperasi, kita bisa mengindahkan kemanusian.
Bertahun kemudian, ketika Schumacher, penulis buku Small is Beautiful itu berbicara di depan rapat umum Africa Bureau, London, 1966, ia berujar hak yang sama. Bahwa, pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang, pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga unsur itu, semua sumber daya akan tetap terpendam dan hanya menjadi potensi belaka.
Di Indonesia, Wiriaatmadja, bukanlah buruh pabrik yang kesadaran sosialnya muncul untuk melawan kaum modal. Ia birokrat bergelar Patih di Purwokerto yang pada 1896 mendirikan bank untuk melindungi pegawainya dari jerat ‘lintah darat’. Wiriatmadja memang tak membangun usaha koperasi, tetapi inisiasinya memberi perlindungan bagi kaum lemah, (sebenarnya tidak pas juga, karena kebanyakan yang ia tolong adalah pegawainya sendiri) dianggap sebagai kesadaran awal lahirnya pemikiran koperasi di masa pergerakan kebangsaan 1908.
Lantaran kepedulian terhadap kelas bawah tertindas itukah maka koperasi jadi lekat dengan makna sosial? Sementara, istilah ‘komersial’ seperti tidak mendapat tempat. Ketika Gusdur mengatakan koperasi harus komersial, ia tak sepenuhnya keliru. Bukankah, saat berdirinya, koperasi diingatkan sebagai alat ekonomi yang harus mengail untung.
Dalam bukunya, Chances of Co-operatives in the future, Hans Munkner mengatakan, kendati koperasi dibentuk dengan modal manusia, tetapi pelayanan optimal terhadap anggota hanya mungkin dicapai jika perusahaan koperasi layak secara ekonomi. Dalam konteks ini, meskipun penting tapi koperasi tidak menekankan peranan modal bagi kelangsungan usaha. Padahal, tanpa menciptakan dasar keuangan yang kuat, sulit bagi koperasi memenuhi layanan untuk anggota. Dan ini dilema.
Yang mengganjal, karena segala sesuatu yang berbau komersial, acapkali mengorbankan nilai yang bernama kebersamaan. Sementara visualisasi tentang kebersamaan acapkali dipojokkan pada konotasi kaum kiri. Tentu saja kita tidak peduli, ketika tembok Berlin runtuh, terminologi kiri dan kanan itu sudah tidak jelas. Seperti halnya, celoteh Presiden Gusdur ketika ditanya, apa tolok ukur bagi koperasi yang dianggap sudah maju. Enteng saja, jika sudah tak perlu lagi bantuan pemerintah. Gitu aja koq repot. (Irsyad Muchtar)