hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Kinerja Menteri Sektor Pangan Perlu Evaluasi Total

Minimnya anggaran ketahanan pangan menyebabkan kecenderungan pemerintah mengimpor barang pokok. “(Problem terkait) impor itu juga terjadi akibat rendahnya anggaran di sektor (pangan), yang tidak mampu mendorong produktivitas dalam negeri.

Sudah saatnya Presiden RI mengevaluasi total sejumlah kementerian dan lembaga yang menangani sektor pangan. “Betul-betul harus dievaluasi secara total kementerian  yang menunjukkan kinerja buruk,” kata Sekretariat Nasional Forum Nasional Indonesia untuk Transparansi (Fitra), Badiul Hadi.

Pernyataan Badiul sekaligus merespons reaksi Presiden yang terlihat mencak-mencak saat menyoroti kinerja sejumlah kepala lembaga hingga menterinya di Bali, Jumat (25/3) lalu. Presiden sampai mengeluarkan kata “bodoh” hingga melarang peserta yang hadir tepuk tangan di sela-sela dirinya bicara.

Badiul menyoroti berbagai masalah yang dihadapi di sektor pangan, sehingga menyebabkan harga-harga beberapa barang mahal, dan impor komoditas pokok masih tinggi. Ia menyebut anggaran yang dialokasikan untuk mendukung program ketahanan pangan masih relatif rendah, meskipun ada kenaikan dari Rp62,8 triliun pada 2021 jadi Rp76,9 triliun pada 2022. “Kenaikan sekitar Rp15 triliun itu bukan angka yang besar ketika bicara sektor pangan,” kata dia.

Dampak minimnya anggaran ketahanan pangan menyebabkan kecenderungan Pemerintah mengimpor barang pokok. “(Problem terkait) impor itu juga terjadi akibat rendahnya anggaran di sektor (pangan) ini yang tidak mampu mendorong produktivitas dalam negeri, sehingga pemerintah harus impor,” ujar Badiul. Hingga, pemerintah masih melakukan impor untuk barang-barang yang mestinya bisa diproduksi dalam negeri, seperti seragam TNI-Polri. “Situasi ini diperburuk dengan kebijakan di sektor pangan yang memang ini udah dirasakan betul,” katanya.

Pada sisi lain, Badiul menilai problem impor terjadi karena infrastruktur yang mendukung dan menopang produksi di dalam negeri masih kurang, utamanya terkait sektor pangan. Misalnya, alat-alat pertanian termasuk traktor masih harus impor karena produksi dalam negeri belum memadai. “Presiden sejak periode kemarin sudah kampanye produk lokal, tetapi faktanya infrastrukturnya belum dibangun,” ujar Badiul.

Presiden meminta mereka mengurangi impor apalagi menggunakan APBN dan APBD. Realisasi belanja untuk produk dalam negeri sejauh ini masih cukup rendah, yaitu Rp214 triliun atau sekitar 14 persen dari total belanja barang dan jasa sebanyak Rp1.481 triliun. Ini tentu harus diperbaiki

Dari total belanja barang dan jasa Rp1,481 triliun, realisasi belanja produk lokal hanya mencapai 14 persen, atau sekitar Rp214 triliun. Rinciannya, anggaran pusat sebesar Rp526 triliun, daerah Rp535 triliun, dan BUMN sebesar Rp420 triliun. “Uang rakyat jangan dibelikan produk impor. Harusnya dibelikan untuk produk UMKM, Itu bisa men-trigger (memacu) pertumbuhan ekonomi,” kata Presiden.

Jika instruksi itu tidak dijalankan, Presiden akan mengenakan sanksi mulai dari pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Presiden juga menegaskan tidak ragu mengganti pimpinan kementerian/lembaga dan BUMN. “Nanti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan melakukan pengawasan sudah seberapa banyak target dicapai,” kata Presiden. Badiul  menyoroti antara lain   kinerja menteri perdagangan yang gagal ngatur harga minyak goreng kemasan, termasuk kinerja menteri pertanian. ●

pasang iklan di sini