Peluangnews, Jakarta – Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp.BS (K) merasa perlu membalas kebaikan orang; berterima kasih kepada Mr. Masui (berkebangsaan Jepang) atas perisai kesuksesan bagi seorang ahli bedah saraf senior khususnya di Indonesia. Kilas balik masa-masa Satyanegara masih di bangku SMA (sekolah menengah atas) sekitar tahun tahun 1956, ketika bertekad memenuhi cita-cita ibunya, yakni berprofesi sebagai dokter.
Awalnya, sekitar tahun 1956, ia temu Mr. Masui seorang konsulat Jepang di Surabaya. Mr. Masui yang bantu mengurusi dan memenuhi persiapan dan keperluan untuk sekolah di Jepang. “Saya mau cari jejak beliau, Mr. Masui. Waktu saya masih berumur 17 – 18 tahun, beliau berusia 27 tahun. Selisih umur kami 10 tahun,” Satyanegara mengatakan kepada Redaksi, Sabtu (6/5/2023).
Mr. Masui bisa berbahasa Indonesia pada saat bekerja sebagai konsulat. Ia lulus dari salah satu universitas, yang salah satu fakultasnya, Bahasa Asing (bidang ilmu yang mempelajari sastra dan bahasa negara-negara di dunia). Kemungkinan, setelah lulus, ia bergabung pada kementerian luar negeri (Kemlu) Jepang.
Akhirnya, ia dikirim ke Indonesia, dan sempah kuliah di UGM Yogyakarta. Ia menghabiskan waktu selama dua tahun belajar bahasa Indonesia. “Usai jam sekolah, sekitar jam 13, saya mampir ke kantornya (Konsulat Jepang di Surabaya). Saya sempat bertanya kemungkinan bisa kuliah di fakultas kedokteran di negara asal Mr. Masui,” kata Satyanegara di ruang prakteknya di RS Satya Negara, Sunter Jakarta Utara.
Awalnya, keinginan Satyanegara ditolak. Karena saat itu, Mr. Masui melihat kegiatan studi khususnya di fakultas kedokteran di Jepang sangat berat. Satyanegara tidak putus asa dan sempat bertanya lagi sambil sodori rapor pendidikan (SMA di Surabaya). Sebulan sekali, Satyanegara datang ke kantor Konsulat. Ia sempat dapat majalah yang isinya mengenai pariwisata, teknik-teknik. Majalahnya ditulis dalam bahasa Indonesia.
“Waktu lulus SMA, dia lihat nilai rapor (pendidikan) saya, sambil meyakinkan bahwa saya bisa sekolah kedokteran di Jepang. Angka-angka pada rapor saya bisa meyakinkan dia. Sehingga Mr. Masui bantu persiapan studi di Jepang. Mungkin faktor jodoh juga (saya) dengan Mr. Masui,” kata Satyanegara.
Prof Satyanegara menangani berbagai kasus sulit stroke dan batang otak. Bedah membedah otak mulai dari kasus tumor otak, hidrosefalus, pikun, koma hingga stroke telah dilakoni Prof Dr dr Satyanegara, SpBS dalam separuh lebih perjalanan hidupnya yang kini di usia 80 tahun. Prof Satyanegara tercatat sebagai salah satu maestro bedah saraf Indonesia. Memang ia bukan pelopor pertama, karena ada dokter-dokter lain yang lebih dulu menjadi pionir bedah saraf di Indonesia seperti Prof Suwaji, Prof Handoyo, Prof Iskarno dan Prof Padmo.
“Mr. Masui sempat pindah jabatan (dari konsulat di Surabaya) menjadi kepala atase penerangan di kedutaan Jepang di Menteng (Jakarta Pusat). Ia sempat mengenalkan saya, petugas di Jepang yang bantu saya ketika sudah tiba di Tokyo, Jepang. Sehingga saya memperpanjang visa setiap tahunnya, harus mendapat tanda tangan yang bersangkutan (kenalan Mr. Masui),” kata Satyanegara. (alb)