Oleh: Billi Liem
Belum lama ini saya bertemu dengan beberapa teman lama yang telah berumah tangga. Mereka menyekolahkan anak mereka ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan di universitas terkenal. Mereka butuh biaya sekitar Rp16 juta/bulan untuk setiap anak selama 3-4 tahun. Total, biayanya mencapai Rp778 juta hingga anak tersebut mendapat ijazah sarjana strata satu (S-1).
Hal yang menakutkan bagi saya, setelah menyelesaikan S-1, mereka mungkin berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke peringkat Master atau Ph.D. yang memerlukan waktu 3-4 tahun lagi.
Satu hal tentang mahasiswa S-1 tadi, dia kembali untuk mendapatkan pekerjaan yang gajinya Rp5,4 juta—Rp8 juta. Saya bisa membayangkan, butuh waktu berapa tahun anak ini untuk memperoleh uang yang telah dikeluarkan oleh orangtua mereka. Pertanyaannya, siapa yang menyediakan lapangan pekerjaan. Jawabnya adalah mereka yang telah “gagal” sebelumnya, mereka yang telah tersingkir di peringkat sekolah atau universitas. Mereka tak punya pilihan dan terpaksa menjadi “usahawan” sekaligus penyedia lapangan pekerjaan.
Barangkali itulah sebabnya mengapa kita sering mendengar banyak cerita sukses seorang yang gagal di dunia pendidikan tapi berhasil menjadi pengusaha. Mengapa lulusan universitas tak mampu melakukannya? Pertama, karena mereka punya pekerjaan yang sudah “mapan” sehingga takut kehilangan pekerjaan itu. Takut kehilangan jaminan dan tunjangan. Takut tidak akan mendapatkan pekerjaan yang sama.
Penting bagi anda untuk membuang perasaan takut karena tidak mempunyai pekerjaan. Hayatilah ungkapan ini dan anda mungkin menemukan kebenaran yang terkandung di dalamnya: “Tidak mempunyai apa-apa untuk dibuat itu sebenarnya adalah mempunyai sesuatu untuk dibuat”. Coba anda pikirkan, bukankah “tidak ada apa-apa” itu adalah “sesuatu”?
Apa yang disebut sebagai kerja dan apa yang tidak disebut sebagai kerja adalah pertanyaan yang membingungkan, walaupun bagi mereka yang paling bijaksana. Sebenarnya, istilah pekerjaan (job) hanya tercipta ketika Revolusi Industri. Sebelum itu, istilah yang ada hanyalah kegiatan (activity) dan tugas (tasks). Mereka yang tidak mempunyai tugas menjadi pengkhayal dan penjelajah.
Kita tidak dilahirkan untuk bekerja hingga akhir hayat. Menurut pendapat saya, kita dilahirkan untuk mengembangkan diri kita sebatas kemampuan kita. Jika hal tersebut dapat anda tetapkan dalam pekerjaan anda sekarang, teruskanlah. Jika anda tidak mampu melakukannya, anda tentu tahu alternatifnya.
Janganlah bimbang jika anda tidak berbuat apa-apa atau tidak mempunyai pekerjaan. Waktu tersebut mungkin waktu yang paling baik buat anda membaca, mendengar, memperhatikan, introspeksi diri, dan memikirkan tujuan anda. Anggaplah waktu itu sebagai waktu tidak bekerja dan bukan waktu tidak memiliki pekerjaan. Tentu anda akan akan terkejut dengan sejumlah kesempatan yang ada di depan anda pada waktu itu. Itu pun jika anda mebuka mata dan memasang telinga selebar-lebarnya. Untuk sementara, tinggalkanlah pergulatan mencari nafkah itu dan jadilah penonton.
Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan yang sedang saya lakukan, saya katakan bahwa saya tidak mempunyai pekerjaan—tidak ada pekerjaan, tidak ada uang, tidak ada masalah! Cobalah mencari jawaban yang sama kepada rekan anda.
Tanpa kita sadari, jauh di sudut hati kita, kita tahu bahwa hidup kita ini bukan untuk bekerja, bekejra, bekerja, dan mati. Jika anda mulai merasa tidak puas, ingatlah bahwa tidak seorang pun bisa menghalangi anda mengejar cita-cita yang lebih tinggi. Kita seharusnya menikmati kehidupan ini sesuai dengan kemampuan dan bakat yang ada pada kita, seperti dalam bekerja atau membangun perusahaan.●