octa vaganza

Ketika Singapura Tolak Label Negara Maju

Sebagai negara dengan ekonomi kecil tanpa sumber daya alam dan ketergantungan tinggi pada perdagangan global, “Singapura adalah Negara Berkembang di WTO,” begitu pernyataan tertulis Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI).

MELALUI Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Amerika Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar Negara Berkembang. Sinyal ke arah itu terpoantau tahun lalu. Saat itu Trump nyatakan rasa geramnya karena AS banyak dicurangi. Sebab, kata dia, banyak negara pura-pura jadi negara berkembang. Tujuannya, agar mendapatkan perlakuan istimewa dalam beberapa kesepakatan dagang di WTO.

Bersama Indonesia, Negeri Paman Sam itu juga mencoret beberapa negara dari daftar negara berkembang yang berasal dari anggota G-20, seperti Argentina, Brazil, India, dan Afrika Selatan. Hal serupa dialami negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Singapura yang sedemikian majunya bersikukuh status negaranya tetap sebagai Negara Berkembang. Mereka menolak dikategorikan sebagai Negara Maju dalam keanggotaannya di WTO. Dilansir dari Channelnewsasia, Senin (24/2), pemerintah Singapura memastikan bahwa mereka sama sekali tak mencari keuntungan dalam statusnya sebagai negara berkembang di sejumlah perjanjian dagang di WTO, sebagaimana yang dituduhkan.

“Kami berkomitmen untuk tidak mencari perlakuan khusus dan berbeda dalam negosiasi (perdagangan) di WTO, baik yang sedang berlangsung maupun di masa mendatang,” ujar Menteri Perdagangan Singapura Chan Chun Sing, September tahun lalu. Status negara berkembang di keanggotaan WTO memang memberikan banyak keuntungan. Misalnya, dapat menetapkan waktu lebih lama untuk menerapkan aturan kesepakatan perdagangan bebas, di samping beberapa keistimewaan berupa kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri dan mempertahankan subsidi.

Manfaat lainnya, negara berkembang bisa mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah untuk saat mengekspor komoditas mereka ke negara-negara maju. Sebagai negara mungil, ekonomi Singapura memang relatif kecil dibanding negara-negara maju di dunia. Namun, jika diukur dari pendapatan per kapita, levelnya berada jauh di atas rata-rata negara berkembang. “Sebagai negara dengan ekonomi kecil tanpa sumber daya alam dan ketergantungan tinggi pada perdagangan global, Singapura adalah Negara Berkembang di WTO,” begitu pernyataan tertulis Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI).

Lebih lanjut MTI menyampaikan, “Perlakuan istimewa dan berbeda tetap penting untuk membantu anggota WTO agar semua anggota terintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral. Semua anggota harus menunjukkan komitmen yang sepadan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.”

Jauh-jauh hari menjelang, Donald Trump menyebut banyak sekali negara-negara yang pura-pura menjadi negara berkembang agar diuntungkan dalam perjanjian dagang di WTO. “WTO itu rusak ketika negara-negara kaya di dunia mengklaim sebagai negara berkembang untuk menghindari aturan-aturan WTO dan mendapat perlakuan khusus. Tak boleh lagi,” ujar Trump dalam akun Twitternya. Selain mengirim memo kekecewaannya melalui USTR, perwakilannya di WTO, USTR melobi agar WTO lebih selektif dalam aturan status negara berkembang yang dinilainya merugikan AS dalam kesepakatan dagang multilateral.

Dalam memo itu, Trump ‘ngambek’ karena beberapa negara seperti  Cina, yang mengambil banyak maslahat dari status itu, mempertahankan tarif bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya guna mendorong industri dalam negeri mereka sendiri. AS menggandeng Jepang dan Uni Eropa bersiasat agar aturan di WTO tersebut bisa direvisi. Namun, mengubah aturan di WTO bukan hal mudah. Soalnya, organisasi beranggota 164 negara yang dibentuk tahun 1995 itu punya mekanisme baku.●

Exit mobile version