BANDUNG—-Lagu lama berjudul “Ole-ole Bandung” yang diciptakan komponis kondang Ismail Marzuki akhir 1940-an pas benar menggambarkan sejarah panjang kuliner kota kembang ini. Tape, oncom dan peyeum, sudah melekat sebagai ole-ole dari kota ini dan terus bertambah dari dekade ke dekade, bahkan setiap daerah sebeutlnya sentra kulinernya.
Kawasan Cililin Bandung misalnya terkenal dengan kerupuk gurilem, kerupuk panjang, selinder yang dibumbui serbuk cabe rawit kering, garam, merica, bawang goreng dan lain sebagainya. Gurileum ini kemungkinan berasal dari singkatan gurih dan peuleum yang artinya lembut. Belum ada sumber tertulis yang bisa memastikan kapan pertama kali kerupuk kuliner ini menambah daftar ole-ole asal Bandung.
Yuswan Malik (40 tahun), salah seorang pelaku UKM Kerupuk Gurilem asal Cililin menduga makanan ini sudah ada pada 1950-an zaman kakeknya, hanya saja waktu kebanyakan jajanan ini dijajakan secara keliling.
Alumni Jurusan Politik Universitas Padjajaran ini bersama pamannya terjun ke bisnis ini dnegan membuka gerai di kawasan Antapani, Bandung pada 2009. Dengan modal awal hanya Rp600 ribu membawa kerupuk ini dari pabrik di Cililin dan dibumbui sendiri ketika hendak dibeli hingga fresh. Pasalnya kalau dicampur sebelum dibungkus, daya tahannya hanya 10 hari.
“Hanya saja saya tidak begitu serius menekuni bisnis ini. Kerupuk Gurilem yang kami jalankan hanya rasa pedas dan original dijual Rp10 ribu per bungkus. Omzet tertinggi hanya sekitar Rp6 juta tetapi itu untuk satu titik, kalau saya fokus lima titik saja bisnis ini bisa bagus,” ujar pria kelahiran 1979 yang aktif di band indie kepada Peluang, Jumat (30/8/19).
Untuk itu Yuswan mengaku pelaku kuliner Gurilem ini membutuhkan marketing andal untuk eskpansi. Bahkan kerupuk guriklem potensial ekspor asal penjualan dan pengiriman dilakukan dengan cepat. Selain itu varian rasanya bisa dibuat beragam, seperti diberi madu, bawang dan sebagainya.
Pelaku UKM kerupuk gurilem lainnya Iwan Gunara dengan brand Anugerah mengakui tidak terlalu mudah memasarkan produk oleh-oleh ini. Keberadaan pasar ritel modern seperti Yogya dan Griya sempat menolong penjualan hingga Rp5 juta per bulan. Sayangnya itu harus kontinyu dan dia sulit untuk memproduksi dengan jumlah tetap. Kini omzetnya hanya Rp2 juta.
“Di kawasan Cililin sendiri, sebetulnya kerupuk gurilem sudah dikembangkan dengan berbagai rasa . Setiap penjual punya resep sendiri pada bumbunya. Namun kami memang membutuhkan modal dan cara pemasaran, ” ujar pria kelahiran 1975 ini.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Bandung memberikan perhatian terhadap jajanan ini untuk bisa naik kelas dengan membantu pelatihan pengemasan produk hingga pemasaran (Irvan Sjafari).