LUWU—-Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah akan mendorong peningkatkan pertumbuhan produksi kakao di Luwu, Sulawesi Selatan. Sayangnya sekalipun Luwu adalah salah satu daerah penghasil Kakao terbesar di Indonesia, tingkat produktifitas kakao di Luwu masih terbilang jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga.
“Produktivitas kakao di Luwu hanya 0,7 ton per hektare per tahun, pernah mencapai 0,5 ton per hektare, namun juga pernah mencapai 0,8 ton per hektare, bervariasi,” ungkap Amran dalam kunjungannya ke perkebunan kakao di Desa Kamanre, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Senin(11/3/2019).
Rendahnya produktivitas kakao di Luwu disebabkan karena pemeliharaan yang kurang tepat seperti terlembatnya waktu pemangkasan. Selain itu, yang menjadi kelemahan lainnya adalah dalam hal pembibitan. Komoditas kakao, masih menggunakan bibit seadanya.
Untuk meningkatkan produktivitas, Kementerian Pertanian (Kementan) membagikan sebanyak 1 juta batang bibit kakao khusus untuk Kabupaten Luwu. Dengan demikian, produksi kakao diharapkan bisa meningkat hingga tiga kali lipat atau mencapai 3,5 hingga 4 ton per hektare per tahun.
Selain itu, Amran juga memastikan bahwa setiap petani akan mendapat pendampingan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
“PPL kita angkat, mereka pahlawan pangan kita supaya mereka mendampingi petani-petani kita. Dulu sudah ada 6000 lebih PPL yang kami angkat, ini mudah-mudahan bisa 11-12ribu. Jadi sudah ada 18-19 ribu PPL yang diangkat,” ujar dia.
Amran juga mendorong hilirisasi kakao menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Dengan demikian pendapatan dari subsektor komoditi ini bisa naik 1000 persen.
Dikatakannya, para petani kakao di Luwu belum mampu mengolah biji kakao menjadi produk coklat. Kakao yang sudah diolah menjadi coklat apabila diekspor memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
“Singapura yang tidak memiliki perkebunan kakao tetapi bisa menjual produk coklat dengan harga tinggi hanya menggunakan bahan baku dari Indonesia,” tutur dia.
Luwu seharusnya bisa mencontoh beberapa daerah di Sulawesi yang sudah mengolah kakao menjadi coklat.
“Di Sulawesi Barat langsung kita bisa menikmati coklat Silverqueen langsung, segar tanpa pengawet. Anggarannya cuman 500 juta sampai 1 miliyar rupiah,” pungkas Amran.
Kawasan Sulawesi menurut sebuah penelitian dari Kementerian Pertanian adalah kawasan pertama di Indonesia yang ditanam kakao pada abad ke 16. Dari Sulawesi menyebar ke Pulau Jawa. Untuk berapa abad sentra kakoI indonesiaada di jawa.
Baru pada 1970-an Kakao menjadi salah satu komoditas yang berjaya di Sulawesi. Menurut Burhan Ketua Kelompok Tani Sipakaingat, Luwu ketika itu orangtuanya menjadi petani di Desa Kamanre, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pada 1990-an, Burhan melanjutkan menggarap perkebunan sang ayah, kakao masih Berjaya. Pada masa itu produksi kakao mencapai dua ton per hektare per tahun.
Sayangnya pada 2000-an, masa keemasan Kakao itu mulai memudar. Menurut Burhan kemerosotan itu bisa dirasakan dari segi jumlah produksi. Sebelumnya, setiap satu hektare lahan bisa menghasilkan lebih dari dua ton kakao setiap tahunnya.
Penurunan produksi kakao diakui oleh Bupati Luwu, Basmi Mattayang. Dari 11 komoditi perkebunan, kakao merupakan komoditi terbanyak di Luwu dengan produksi 24.260 ton di sepanjang 2018 dengan luas 35.311 hektare. Meski demikian, produktivitas subsektor perkebunan ini semakin hari semakin menurun.
“Hal ini disebabkan karena kondisi tanaman yang sudah berumur tua serta adanya serangan hama dan penyakit,” ungkap dia.