octa vaganza
Ragam  

“Kemarin” dan Eksistensi Film Dokumenter di Bioskop

JAKARTA—Hanya ada empat penonton di Cinere Bellevue XXI, termasuk saya menyaksikan film semi dokumenter “Kemarin”, pada Selasa 8 Desember lalu,  tentang perjalanan hidup Grup Band Seventeen dan bencana tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember silam.  Itu pun salah seorang di antaranya meninggalkan bioskop menjelang akhir film. Film ini sendiri tayang sejak 3 Desember lalu.

Pada  hari yang sama dua rekan saya yang menonton di bioskop lain mengaku juga menonton film ini sendirian di bioskop. Bisa jadi, karena orang masih enggan ke bioskop di tengah pandemi Covid-19 dan studio saya menonton benar-benar menjalankan protokol kesehatan dengan selang-seling kursi alias 50% kapasitas.

Tetapi bisa jadi karena film dokumenter sukar dijual di bioskop, sekalipun harus ada.  Film dokumenter itu tidak hanya lebih jujur dan menoton film bukan hanya untuk hiburan tetapi juga untuk isi kepala.

“Banda: The Dark Forgotten Trail” yang ditayangkan tiga tahun yang silam meraup penonton cukup bagus dengan 22 ribu penonton. Saya juga menyaksikan film itu dengan hanya kurang dari 40 orang di sebuah bioskop di Jakarta.  Film “Earth” pada 2007 saya menonton bersama enam orang lainnya, yang akhirnya duduk berderet karena bioskop sepi walau beli tiket berlainan kursi.

“Kemarin” yang disutradarai Upie Guava dibuka dengan suasana personel Seventeen bercengekrama di kolam renang Tanjung Lesung empat jam sebelum kejadian bersama keluarga mereka.  Kemudian bencana terjadi ketika band itu mengisi acara gathering PLN malam harinya. Ombak menerpa dari belakang panggung, menyapu panggung dan kursi serta meja makan penonton.

Tiga personel, Muhammad Awal Purbani (Bani), Herman Sikumbang dan Windu Andi Darmawan (Andi) meninggal dalam kejadian itu.  Hanya Rieifan (Ifan) Fajarsyah yang selamat. Ikut meninggal istri Ifan, Dylan Sahara, Road Manager Oky Wijaya dan seorang crew bernama Ujang. Bisa dibayangkan pukulan psikologis yang dialami Ifan dan itu tergambarkan dengan baik dalam film dokumenter ini.

“Kemarin” mengungkapkan bagaimana pembentukan grup band ini di Yogyakarta, pergantian personel hingga kehidupan keluarga pasca bencana, sangat humanis.  Saya mendapatkan kesan bahwa Seventeen bukan hanya tempat mencari makan, tetapi juga keluarga besar.

Satu adegan menunjukan keluarga lebih penting terlihat sikap personel lebih mempertahankan manager mereka daripada ikut label besar dengan bayaran tinggi, tetapi manajemen diambil label besar. 

Saya salut ketekunan sutradara menjahit potongan dokumentasi dari kamera Andi salsah stau personel Seventeen yang meninggal, video klip, reportase televisi dan baru, hingga rekonstruksi bencana dengan teknologi, hingga wawancara.  Seharusnya film ini memikat fans dari Seventeen datang ke bioskop.

Ifan sendiri dalam akun instagramnya menyebut bahwa jumlah penonton sudah mencapai 10 ribu. Sebenarnya hal yang cukup baik untuk film dokumenter. Saya berharap film yang cukup bagus ini, setidaknya menyamakan jumlah penoton film “Banda: The Drak Forgotten Trail “dan sekaligus juga memberi semangat bahwa film dokumenter masih punya penonton.

Menurut pengamat film dan staf pengajar Bina Nusantara Ekky Imanjaya  mengatakan bioskop adalah unit bisnis yang bekerja berdasarkan prosedur dan hukum bisnis.  Bioskop akan menerima film apa pun asal sesuai dengan standar, seperti 35 mm atau DCP, penoton yang stabil dan meningkat.

“Jadi agar film dokumenter tidak turun dari layar secepatnya meski ada penggalangan massa untuk penoton,lima hari pertama agar tidak cepat turun.  Selain itu harus ada film publicist yang bagus untuk buat program gimmick, meet and greet hingga kunjungan ke stasiun televisi dan radio,” ujar Ekky kepada Peluang, Jumat (11/12/20) melalui Facebook messengger (Van).

Exit mobile version