Opini  

Keluhan Sulitnya Akses KUR sampai ke Jokowi, Lalu Apa?

Oleh: Yudianto Tri

Keluhan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terkait akses kredit usaha rakyat (KUR) akhirnya sampai ke Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Pasar Sungai Ringin, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Kamis (21/03/2024).

Namun dengan enteng keluhan itu ditepis  bukan berada di pihak pemegang kebijakan. Karena, pemerintah telah menyediakan pelbagai skema pembiayaan untuk mendukung UMKM Misalnya, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan plafon pinjaman mulai Rp25 juta sampai Rp500 juta berbunga rendah hanya 6 persen per tahun. Semua KUR itu disiapkan oleh bank pemerintah.  Presiden masih menambahkan, selain KUR, ada pelbagai pilihan lain dalam pembiayaan, misalnya program Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar. Program tersebut menyediakan pinjaman hingga Rp10 juta,  dirancang untuk usaha mikro dengan sistem yang memudahkan peminjaman.

Kurang apa lagi? O ya, masih ada pinjaman yang lebih ringan, program UMi yang menyediakan pinjaman lebih kecil lagi untuk mendukung usaha sangat kecil atau ultra mikro. Semua program-program tersebut, tandas Presiden, dirancang untuk dapat diakses tanpa agunan, memudahkan para pelaku usaha kecil untuk mendapatkan dukungan modal.

Benarkah senyaman itu  pernyataan Presiden? Di lapangan justru terjadi sebaliknya, UMKM tetap saja sulit mengakses perbankan.

Istilah yang sering muncul dalam candaan birokrasi, “Jika bisa dipersulit kenapa dipermudah” masih terus menghantui pelaku UMKM. Ada yang terbentur   persyaratan administratif dan finansial yang ketat dari institusi perbankan. Hal ini termasuk kebutuhan untuk menyediakan laporan keuangan yang rinci, riwayat kredit yang baik, dan proyeksi bisnis yang realistis. Banyak UMKM, terutama yang masih baru atau berskala kecil, kesulitan memenuhi persyaratan ini karena keterbatasan dalam pencatatan keuangan atau kurangnya sejarah kredit.

Selain itu, kurangnya Agunan sebagai salah satu persyaratan utama dalam proses pemberian kredit oleh bank. Banyak UMKM, terutama di daerah pedesaan atau sektor informal, tidak memiliki aset yang memadai untuk dijadikan jaminan pinjaman. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi mereka untuk mendapatkan akses ke layanan perbankan, terutama dalam hal kredit.

 

Masalah lainnya,  keterbatasan literasi keuangan yang rendah menjadi salah satu penghambat bagi pemilik UMKM  memahami produk dan layanan perbankan. Ketidakpahaman ini seringkali mengakibatkan kesulitan dalam membuat keputusan keuangan yang tepat dan mengakses informasi tentang produk perbankan yang bisa memenuhi kebutuhan bisnis mereka.

Kemudian tingginya risiko kredit, dimana Bank cenderung menganggap UMKM sebagai segmen dengan risiko kredit yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan besar. Hal ini disebabkan oleh stabilitas finansial UMKM yang relatif lebih rendah dan tingkat kegagalan bisnis yang lebih tinggi. Risiko ini membuat bank lebih hati-hati dan seringkali lebih ketat dalam memberikan pinjaman kepada UMKM.

Sebagai bukti dari semua kendala tersebut, Agustus tahun lalu Majalah Peluang  memberi penghargaan kepada kalangan perbankan terbaik dalam penyaluran kredit ke UMKM (Best Bank Performance of MSMEs Loan 2023.  Berdasar Peraturan Bank Indonesia No 23/13/PBI/2021, bank wajib menyalurkan minimal 20% dari portopilio kreditnya ke UMKM. Nyatanya, dari  150 bank yang disurvey Majalah Peluang hanya 30 bank saja yang mampu memenuhi ketentuan tersebut dengan predikat ”Sangat Prima.” Tapi Presiden Jokowi agaknya tak peduli dengan kendala dihadapi perbankan. Perbankan malah diminta ‘gaspol’ meningkatkan porsi kredit ke UMKM minimal 30% pada 2024 ini.

 

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Kerukunan Usahawan Kecil Menengah Indonesia (KUKMI) Periode 2024-2029. Ketua Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas)

Exit mobile version